M. Alfaraby Blog
Saatnya saling berbagi..!!!!
Selasa, 03 Januari 2012
TEKNIK PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalamus) DI BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR TAWAR SUKABUMI PROVINSI JAWA BARAT
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ikan merupakan
sumber daya perairan yang dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat
dibandingkan dengan sumber daya pertanian dan perternakan. Perikanan merupakan
suatu upaya manusia untuk menggali sumber daya hayati perairan yang digunakan bagi
kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sumber daya perikanan merupakan
salah satu sektor yang memegang peranan penting didalam pemenuhan protein
hewani.
Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah
satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada tahap
pembenihan maupun pembesaran. Ikan ini memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi kadar kolesterol yang relatif rendah serta memiliki kandungan
kalori sehingga ikan ini baik untuk dikonsumsi ( Khairuman, 2002). Sebab dengan
hal tersebut penulis melakukan praktek magang di BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat
tentang cara pemijahan ikan patin sehingga ilmu yang didapatkan nantinya dapat
diterapkan kepada masyarakat.
Dalam
pembangunan usaha budidaya perikanan, maka penyediaan benih yang bermutu tinggi
dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau oleh petani ikan sangat
diperlukan, oleh karena itu tujuan mendirikan balai benih ikan dalam skala
kecil tidak saja dapat dilakukan oleh pemerintah tapi juga pihak swasta (Dahril dalam Sarwisman, 2002)
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari
praktek magang ini adalah untuk mengetahui tehnik pembenihan Ikan Patin (Pangasius
pangasius) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Suka Bumi, Jawa
Barat. Selain itu menemukan
permasalahan yang ada dan mencari alternatif pemecahan masalah tersebut.
Manfaat
dari hasil praktek magang ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pengalaman
dan keterampilan, sehinggah ilmu yang diperoleh bisa dijadikan bekal ke
masyarakat dalam menghadapi dunia kerja.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi dan Ekologi Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus)
Ikan patin merupakan salah satu dari 14
spesies pangasiid yang sudah cukup lama di Indonesia. Pangasius
hypopthalmus merupakan introduksi dari Thailand dan menjadi salah satu ikan
populer yang dibudidayakan di Indonesia (Slembrouck, J. et all., 2003).
Menurut Susanto dan Amri (2002),
klasifikasi ikan patin adalah sebagai berikut:
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroide
Famili
: Pangasidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius hypopthalmus
Djariah (2001) mengatakan, ikan patin memiliki warna tubuh
putih keperak - perakan dan punggung kebiru - biruan, bentuk tubuh memanjang,
kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua
pasang sungut yang pendek. Susanto dan
Amri (2002) menambahkan, pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras
yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya.
Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai
sisik, sirip dubur relatif panjang yang
terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan
sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13
jari-jari lunak dan sebuah jari - jari keras yang berubah menjadi senjata yang
dikenal dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip
lemak yang berukuran kecil.
2.2. Pembenihan
2.2.1. Seleksi Induk
Seleksi ini dilakukan terhadap stok induk
yang ada dengan tujuan untuk mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas
tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat diturunkan (Sutisna dan
Sutarmanto, 2003). Selain itu seleksi juga untuk mendapatkan induk yang telah
matang gonad dan siap untuk dipijahkan.
Ketelitian saat seleksi induk merupakan
penentu keberhasilan dari kegiatan pemijahan karena induk yang berkualitas akan
menghasilkan telur dan larva yang berkualitas pula. Sebaliknya, induk yang
kurang berkualitas akan menghasilkan telur dan larva yang lemah yang berakibat
pada kelangsungan hidup yang rendah (Rustidja, 2004).
2.2.2. Pemijahan
Pemijahan
adalah proses pertemuan antara ikan jantan dan betina untuk melakukan pembuahan
telur oleh spermatozoa yang terjadi diluar tubuh atau secara eksternal.
(Effendi, 1997) menyatakan bahwa pemijahan merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan ikan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya.
Hal-hal yang perlu dilakukan pada proses pembenihan antara lain, pengadaan
induk yang meliputi karantina dan perawatan induk. Hal itu bertujuan untuk
memilih induk yang berkualitas baik. Biasanya induk-induk yang berasal dari alam
memiliki kualitas yang kurang baik sehingga perlu dilakukan karantina dan
perawatan untuk meningkatkan kualitas induk.
Pemijahan
ikan patin biasanya dilakukan dengan teknik kawin suntik karena induk patin
sulit terangsang untuk memijah bila dengan perlakuan secara alami. Teknik
pemijahan induksi (induce breeding)
dengan menyuntikkan larutan hipofisa dicampur dengan ovaprim. Biasanya, teknik
ini diikuti dengan teknik pengurutan (stripping)
agar telur tidak berceceran dan bisa ditetaskan di dalam akuarium (Heru, 2006)
2.2.3. Penetasan
Fertilisasi Merupakan proses masuknya
spermatozoa ke dalam telur ikan melalui lubang mikrofil yang terdapat pada chorion
dan selanjutnya akan terjadi perubahan pada telur dalam proses pembuahan. Telur
ikan dan sperma mempunyai zat kimia yang terbentuk dalam proses pembuahan. Zat
tersebut adalah gamone. Gamone yang dikeluarkan sel telur disebut
gynamone 1 dan gynamone 11 (Febriani dan Marlina , 2004). Setelah
telur dibuahi sampai dengan menetas maka akan terjadi proses embriologi (masa
pengeraman) yaitu mulai dari satu sel, dua sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel,
64 sel, 128 sel sampai pra blastula – gastula – neurola – embrio – penetasan
(Sutisna dan Sutarmanro , 2003).
Penetasan disebabkan oleh gerakan-gerakan
larva akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya dan pengurangan oksigen dalam
cangkang (Sutisna dan Sutarmanto , 2003).
2.2.4.
Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva pasca penetasan telur
dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi dengan
aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan larva
dalam happa dilakukan selama 1 hari tanpa diberi pakan, karena larva pada saat
itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Larva ikan patin mulai membutuhkan makan
dari luar setelah cadangan makanannya yang berupa yolk suck telah habis.
Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal (Slembrouck , et all , 2003). Larva
yang berumur 2 hari diberi pakan berupa artemia sampai berumur 7 hari kemudian
dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga berumur 14 hari (BBPBAT
Sukabumi, 2003). Pada perkembangan larva membutuhkan lingkungan yang kaya
oksigen. Fluktuasi suhu yang besar perlu dihindari selama stadia larva untuk
mencegah terjadinya stress. Perubahan suhu yang besar dapat mematikan larva.
Secara
morfologi, benih telah memiliki kelengkapan organ tubuh meskipun dalam ukuran
yang sangat kecil dan berwarna agak putih. Benih yang dipelihara belu
Pakan merupakan salah sam terlihat
alat kelaminnya, sehingga belum dapat dibedakan antara benih jantan dengan
benih yang betina. Setelah larva berumur 3 hari selanjutnya benih ditebar pada
bak pemeliharaan. Benih yang ditebar dalam kondisi sehat, hal ini dapat
diketahui dari gerakannya yang lincah dan bersifat agresif terhadap makanan
2.3. Pakan
pakan merupakan faktor yang
dapat menunjang dalam pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau
maupun ikan air laut. Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup
yaitu dari larva, dewasa sampai ukuran induk.
Penggunaan pakan dalam pemeliharaan larva
berpengaruh secara dominan terhadap pertumbuhan ikan kerena pakan berfungsi
sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan dan mempertahankan hidupnya
(Huet, 1971 dalam Melianawati dan
Suwirya, 2005).
2.4. Kualitas Air
Air merupakan media hidup bagi ikan dimana
di dalamnya mengandung berbagai bahan kimia lainnya, baik yang terlarut dan
dalam bentuk partikel. Kualitas air bagi perikanan didefenisikan sebagai air
yang sesuai untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan, dan biasanya hanya
ditentukan dari beberapa parameter. Unsur kualitas air yang paling berpengaruh
terhadap kehidupan ikan antara lain suhu, oksigen terlarut (DO), keasaman (pH) dan kesadahan (Daelami, 2001).
2.5.
Hama dan
Penyakit
Penyakit
yang menyerang pada pemeliharaan induk Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) antara lain MAS (Motil Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla. Gejala yang
timbul pada ikan yang terserang bakteri ini adalah terdapat bercak-bercak merah
pada bagian permukaan tubuh, kurangnya nafsu makan dan gerakan kurang agresif.
Penyakit ini timbul karena keadaan
lingkungan yang kurang baik, nutrisi yang kurang dan faktor genetik.
Apabila kondisi induk terserang penyakit maka telur yang dihasilkan akan kurang baik (Sunarma,
2004).
III. METODE PRAKTEK
3.1. Waktu dan Tempat
Praktek
magang ini dilakukan pada tanggal 26
Januari sampai dengan tanggal 14 Februari 2011 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktek magang ini adalah induk ikan Patin
siam yang sudah matang gonad yang mempunyai berat 1,5 – 2,5 kg yang berjumlah
11 ekor dengan perbandingan 4 : 7 (4 ekor betina 7 ekor jantan), Artemia, Tubifex sp untuk pakan alami larva dan
vitamin C merk Premium-C sebagai bahan campuran pada pakan alami, serta seluruh
faktor penunjang yang terdapat di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar
(BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat.
Alat-alat yang digunakan
adalah hapa, bak pakan alami, timbangan, Alat suntik,
bak pemeliharaan larva, pH meter untuk mengukur derajat keasaman
air (pH), DO meter untuk mengukur
kadar oksigen terlarut, spectrofotometer untuk mengukur kadar amoniak, selang aerasi, batu aerasi, baskom, gelas ukur, kamera, selang sipon, dan
alat-alat tulis.
3.3. Metode Praktek
Metode
praktek yang digunakan yaitu studi kasus dengan cara melakukan pembenihan ikan
patin siam (Pangasius hypopthalamus)
yang dipijahkan di happa serta melakukan wawancara langsung dengan staf
karyawan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Pengamatan
dan pengambilan data serta informasi melalui pengamatan terhadap objek di
lapangan. Sedangkan data
skunder
diperoleh dari kantor BBPBAT Sukabumi serta literatur yang mendukung laporan
praktek magang ini.
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Seleksi Induk
Seleksi induk patin tidak selalu dapat
memijah secara serentak, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan umur dan
tingkat kematangan gonad. Untuk mendapatkan induk yang matang gonad dan siap
untuk dipijahkan maka perlu dilakukan seleksi induk. Induk jantan yang siap
dipijahkan mempunyai ciri-ciri papilla menonjol dan kemerahan, tubuh
lebih langsing dan memanjang, serta apabila diurut akan keluar sperma yang
berupa cairan kental berwarna putih susu. Induk jantan ini diseleksi dengan
metode striping, sedangkan induk betina memiliki ciri-ciri perut nampak
besar dan lembek, papilla kemerahan dan memiliki telur yang seragam
berkisar antara 0,9 - 1,2 mm dan berwarna putih. Telur ini diambil dengan
metode kanulasi yaitu memasukkan selang kanulasi (kateter) ke dalam lubang genital
dengan kedalaman 9-10 cm, kemudian telur disedot dan diambil sebagai sampel
untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya.
3.4.2. Pemijahan
Pemijahan ikan Patin siam (Pangasius hypopthalamus) dilakukan
dengan cara pemijahan buatan yaitu dengan menyuntikan hormon perangsang yang berasal dari kelenjar
hipofisa LH-RH-A atau hCG atau hormon sintetis dengan merk dagang ovaprim
(BBPBAT Sukabumi, 2003). Penyuntikkan dilakukan dengan tujuan untuk merangsang
pemijahan yang sudah matang gonad, ikan patin sulit dipijahkan secara alami
karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai (Susanto H, 1999).
Pemijahan ikan patin mengalami kesulitan
pada musim kemarau karena ikan patin memiliki kebiasaan memijah pada musim
penghujan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan penyuntikan dengan
menggunakan hormon yang berbeda. Penyuntikan dengan menggunakan hormon
bertujuan untuk merangsang perkembangan gonad dan ovulasi secara lebih cepat
pada musim kemarau. Hormon yang biasa digunakan adalah hCG menurut (Slembrouck,
2003) penyuntikan pada induk betina, hCG digunakan pada penyuntikan pertama
dengan dosis 500 IU/kg
Penyuntikan kedua dengan menggunakan
ovaprim 0,6 ml/kg. Penyuntikan induk jantan cukup menggunakan ovaprim dengan
satu kali penyuntikan menggunakan dosis 0,2 ml/kg.
Keesokan harinya ikan patin siap untuk dipijahkan atau dilakukan fertilisasi
dengan cara pencampuran sperma dengan telur. Alat - alat yang dibutuhkan
berupa peralatan pemijahan (baskom plastik), kain lap, tisu gulung.
Sebelum dilakukan striping pada induk betina, terlebih
dahulu dilakukan pengambilan sperma dari induk jantan dengan cara melakukan
pemijatan dari perut ke bawah. Usahakan sperma tidak terkena air dengan
terlebih dahulu dilakukan pengeringan dengan menggunakan tisu. Sedangkan induk betina distriping untuk mendapatkan telur kemudian telur yang didapatkan
dimasukkan kedalam mangkok plastik. Setelah itu telur yang didapat ditambah
dengan sperma dan encerkan dengan menggunakan larutan fisiologis (NaCl). Tujuan
dari pengenceran ini adalah untuk mempertahankan daya hidup spermatozoa dalam waktu yang relatif
lama. Telur dan sperma harus diletakkan di tempat yang tidak terkena sinar
matahari. Selanjutnya telur dan sperma segera dibawa ke tempat penetasan (Gambar 4), dan diaduk dengan menggunakan bulu
ayam kemudian menggoyang - goyangkan wadah secara perlahan kemudian dicuci
dengan air sebanyak dua kali, banyak dan lamanya pencucian dilakukan tergantung
dari kondisi telur tersebut, semakin lengket telur maka semakin banyak dan lama
pencucian. Kemudian telur ditebarkan pada bak fiber berukuran 4 x 2 x 0,5 m3
yang dilengkapi hapa didalamnya dengan ukuran 2 x 1 x 0,3 m3 secara
merata agar tidak terjadi penumpukan telur.
3.4.3. Penetasan Telur
Telur yang sudah dibuahi oleh
sperma ditebar pada hapa penetasan yang telah disiapkan. Penebaran dilakukan
secara merata dan diusahakan telur tidak menumpuk pada satu tempat atau
beberapa tempat saja. Caranya yaitu dengan membuat gelombang kecil dengan
tangan saat telur ditebar ke dalam air tetapi belum sampai tenggelam ke dasar
hapa. Gelombang tersebut akan menyebabkan telur tersebar secara merata
keseluruh hapa.
Lama penetasan telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) setelah ditebar
didalam bak fiber yang di lengkapi hapa yaitu selama 35 - 40 jam setelah
pembuahan (Gambar 5). Pada keesokan paginya dihitung jumlah telur yang
terbuahi untuk mendapatkan nilai dari Fertility
Rate (% FR). Pada sore harinya
dilakukan penghitungan terhadap telur-telur yang sudah menetas untuk mengetahui
daya tetas telur (% HR). Selanjutnya itu dilakukan pemeliharaan larva.
3.4.4. Pemeliharaan Larva
Telur yang telah dibuahi akan
menetas menjadi larva setelah 35-40 jam (Sunarma 2004). Larva dipelihara 1 hari
pada hapa penetasan dan tidak perlu diberi pakan tambahan, karena kuning telur
pada larva baru akan habis pada saat larva berumur 1 hari (Sunarma, 2004).
Setelah berumur 2 hari, selanjutnya larva dipindahkan ke dalam bak fiber yang
berukuran lebih besar, dan dilakukan
penyiphonan secara rutin, hal ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa pakan
dan kotoran untuk mencegah hama
dan penyakit yang akan timbul.
3.4.5. Pemanenan
Kegiatan
pemanenan dilakukan pada pagi hari, pada
saat larva ikan sudah berumur 14 hari.
Larva Ikan yang berada didalam bak fiber diambil dengan menggunakan scopnet kemudian dimasukkan kedalam
plastik. Sebagian dijual kepada para petani ikan dan sisanya dibesarkan di
kolam pendederan.
Proses pemanenan larva Patin
Siam (Pangasius hypopthalamus) menggunakan alat bantu seperti tabung ukur, ember, baskom, plastik
dan scopnet.
Sebelum dilakukan panen, air
terlebih dahulu dikurangi sebanyak 80% untuk mempermudah proses pemanenan.
Kemudian larva ditangkap dengan menggunakan scopnet dan dimasukkan
kedalam baskom dan dilakukan penghitungan dengan menggunakan tabung
ukur. (Gambar 7), untuk selanjutnya
dipindahkan kedalam bak pemeliharaan yang telah disiapkan atau dijual kepada para pembeli.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Teknik Pembenihan Ikan Patin Siam
4.2.1. Seleksi Induk
Setelah
bak pemijahan dipersiapkan, induk yang akan dipijahkan diseleksi terlebih
dahulu. Tujuan dari penyeleksian ini adalah untuk mendapatkan induk yang
berkualitas agar induk tersebut dapat menghasilkan individu yang berkualitas
pula, karena keberhasilan suatu proses pemijahan juga dipengaruhi oleh kualitas
induk.
Tabel 3. Hasil
Seleksi Induk- Induk Ikan Patin Pada Bak I yang Telah Matang Gonad
No
|
Induk
|
Jumlah
|
Berat (kg)
|
1.
|
Betina
|
Patin siam (4 ekor)
|
1,8 – 2,5 kg
|
2.
|
Jantan
|
Patin siam (7 ekor)
|
1,5 – 2,2 kg
|
Dari Tabel 3 terlihat induk betina yang digunakan mempunyai berat 1,8 –
2,5 kg dan induk jantan mempunyai berat
1,5 – 2,2 kg.
4.3. Pemijahan
Sebelum
induk dipijahkan, induk patin dipuasakan atau diberok terlebih dahulu selama 1
– 2 hari, untuk mengurangi kadar lemak pada saluran pengeluaran telur dan
membuang kotoran atau faces.
4.3.1.
Penyuntikan Hormon
Pada
penyuntikan induk patin digunakan dua jenis hormon, yaitu hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan
ovaprim. Hormon hCG berfungsi untuk menyempurnakan matang gonad induk betina
dan ovaprim berfungsi untuk memacu ovulasi dan produksi sperma. Penyuntikan
pertama dengan hormon hCG sebanyak 500 IU/kg bobot induk dan penyuntikan kedua
dengan hormon ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg dari bobot induk.
Induk
yang akan disuntik pada bagian kepalanya dibalut dengan menggunakan kain basah.
Penyuntikan dilakukan pada bagian intramuscular
di daerah punggung. Untuk induk betina diberi suntikan sebanyak dua kali,
selang waktu dari penyuntikan kedua sampai ovulasi antara 10 - 12 jam pada
kondisi suhu air 25 – 27 °C. Waktu laten yakni jarak antara penyuntikan kedua
sampai ovulasi sangat dipengaruhi suhu air. Waktu laten ikan patin siam
tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Waktu Laten Ikan Patin Siam
Temperatur Air (°C)
|
Waktu Laten (jam)
Patin Siam
|
25-27
|
10.30
|
25-27
|
11.20
|
25-27
|
10.55
|
25-27
|
11.35
|
Sumber : BBPBAT Sukabumi
Sebelum dilakukan penyuntikan
induk betina, tertebih dahulu ditimbang untuk mengetahui jumlah hormon hCG
maupun ovaprim yang diperlukan. Menurut Sunarma (2004) hormon hCG menggunakan
dosis 500 IU/kg, sedangkan untuk ovaprim
menggunakan dosis 0,6 ml/kg untuk induk betina dan 0,2 ml/kg untuk induk jantan
sudah cukup untuk membantu proses kematangan gonad. Hormon ovaprim bertujuan
untuk mempercepat terjadinya ovulasi dan produksi sperma. Penghitungan dosis
Ovaprim dan hCG dapat dilihat pada Lampiran
4.
Penyuntikan dilakukan secara intra
muscular atau pada bagian otot sirip punggung pada induk betina maupun
jantan, Setelah penyuntikan selesai induk betina dikembalikan kedalam bak
penampungan dan kemudaian dilakukan penyuntikan selanjutnya bersamaan dengan
induk jantan. Dosis penyuntikan induk ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Dosis
Penyuntikan Induk Ikan Patin Siam
Bobot Induk Betina Patin Siam (kg)
|
Dosis HCG
( ml/kg)
|
Dosis Ovaprim
(0,6 ml/kg)
|
3,5
|
5.25 ml
|
2.1 ml
|
3,2
|
4.8 ml
|
1.92 ml
|
2,8
|
4.2 ml
|
1.68 ml
|
3.2
|
4.8 ml
|
1.92 ml
|
Sumber : Data Hasil Pengamatan
Dari
Tabel 5 dapat diketahui bagaimana cara menghitung dosis hCG dan ovaprim
yang dibutuhkan oleh induk yaitu dapat
dilakukan dengan cara menimbang induk terlebih dahulu kemudian menggunakan
hormon hCG yang diperlukan dengan dosis 500 UI/kg dan ovaprim dengan dosis 0,6
ml/kg.
4.3.2.
Fekunditas
Fekunditas
merupakan jumlah telur yang dihasilkan oleh induk yang akan dikeluarkan pada saat pemijahan. Cara perhitungan
fekunditas dilakukan dengan menimbang berat telur sesudah di stripping. Mengambil sampel telur,
kemudian telur ditimbang dan dihitung. Penghitungan telur dilakukan dengan metode
sampel. Pada penghitungan telur ini penulis melakukan penghitungan telur dengan
cara mengambil sample sebanyak 1 gram dan kemudian dilakukan penghitungan (1190
telur), diameter telur berkisar antara 0,9202 – 1,0064 mm, Hal ini dilakukan
untuk mempermudah derajat penghitungan telur. Subandiyah et al (1990) menyatakan bahwa semakin berat dan besar ukuran induk
maka akan berpengaruh pada telur atau perkembangan gonad yang dihasilkan.
Hasil fekunditas yang
didapatkan selama praktek magang di BBPBAT Sukabumi adalah terlihat pada Tabel
6. Dari data hasil fekunditas pada Tabel 6 diketahui bahwa fekunditas telur
ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus)
yang ada di BBPBAT Sukabumi induk pertama menghasilkan telur sebanyak 630.000,
induk kedua 576.000 butir, induk ketiga 420.000 butir dan induk keempat 576.000,
jumlah ini termasuk baik karena menurut Sunarma (2004) ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang baik mampu
menghasilkan telur sebanyak 150.000 sampai 200.000 butir/kg induk. Induk-induk
ini sewaktu masih dalam proses pemeliharaan diberikan pakan 5 % dari biomass
dengan kandungan protein sebesar 28%. Sumber protein yang cukup akan sangat
membantu proses pembesaran dan kematangan gonad ikan Patin Siam (Sunarma, 2004)
Jumlah fekunditas telur
dipengaruhi oleh kualitas induk yang baik yaitu induk yang sehat, kebutuhan
pakan terpenuhi baik dalam jumlah dan kandungan protein yang sangat dibutuhkan
oleh induk.
Tabel 6. Data
Hasil Penghitungan Fekunditas Induk Ikan Patin Siam
Induk
|
Fekunditas (butir)
|
I
|
631.440
|
II
|
588.360
|
III
|
510.720
|
IV
|
576.000
|
4.3.3. Pembuahan
Telur
Proses pembuahan telur sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kualitas induk yang mampu menghasilkan
telur dan sperma yang bagus.
Tujuan dari pembuahan adalah
untuk menghasilkan larva dari telur yang sudah dikeluarkan. Ciri-ciri telur yang
terbuahi akan berwarna putih bening sedangkan telur yang tidak terbuahi
berwarna putih susu.
Derajat pembuahan (FR) ikan
Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus) mencapai
rata-rata 79.5 %. Pada induk pertama mencapai
79 %, induk kedua 79 %, induk ketiga 80 % dan induk ke empat 80 %.
Derajat pembuahan telur akan tinggi bila kualitas telur yang dihasilkan oleh
induk itu baik karena induk tersebut sudah matang gonad. Data hasil derajat
pembuahan telur ikan Patin Siam
selama pengamatan di BBPBAT Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 7. Dan cara
penghitungan dapat dilihat pada lampiran 3.
Tabel 7. Data
Hasil Derajat Pembuahan Telur Ikan Patin Siam
Hapa
|
Fekunditas
(butir)
|
Telur yang terbuahi
(butir)
|
FR
(%)
|
I
|
631.440
|
498.838
|
79
|
II
|
588.360
|
464.804
|
79
|
III
|
510.720
|
408.576
|
80
|
IV
|
576.000
|
460.800
|
80
|
4.4. Penetasan
Telur
Penetasan telur dilakukan
dengan menggunakan sistem air mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen
terlarut dan pergantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak
terbuahi, dan peningkatan oksigen terlarut dilakukan dengan pemberian aerasi.
Derajat penetasan telur sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kualitas telur dan
sperma dari induk itu sendiri (Sunarma, 2004). Pada suhu normal antara 25 - 30 oC
telur ikan Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus) dapat
menetas dalam waktu 30 - 35 jam, namun karena suhu di BBPBAT Sukabumi 25-27 oC
termasuk dingin maka lama penetesan telur bisa mencapai 35-40 jam.
Hasil yang didapat pada induk
pertama sampai dengan keempat berada diatas angka 70%, angka ini termasuk baik
karena derajat hasil penetasan telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang baik melebihi angka 70% (Sunarma,
2004). Derajat pembuahan telur yang tinggi dapat dicapai karena kualitas induk
yang baik dan suhu penetasan telur yang optimal. Untuk lebih lengkapnya data derajat hasil
penghitungan telur ikan Patin Siam
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data
Derajat Hasil Penetasan Telur Ikan Patin
Hapa
|
Telur yang terbuahi
(butir)
|
Telur yang menetas
|
HR
(%)
|
I
|
498.838
|
399.070
|
80
|
II
|
464.804
|
357.899
|
77
|
III
|
408.576
|
277.832
|
68
|
IV
|
460.800
|
364.032
|
79
|
Dari data Tabel 8 dapat dilihat
HR atau derajat penetasan telur pada ikan patin siam yaitu rata-rata penetasan ikan
patin mencapai 76 %. Derajat penetasan ikan patin hanya mencapai rata-rata 76%
dikarenakan temperatur suhu yang tidak stabil dikarenakan pemijahan dilakukan
pada musim hujan.
4.5.
Pemeliharaan Larva
4.5.1.
Pengelolaan Kualitas Air
Data
kualitas air untuk larva Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus) yang
didapatkan selama pengamatan terdapat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Pengukuran
Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva Patin Siam
Minggu Ke-
|
Suhu
(oC)
|
pH
|
DO
(ppm)
|
NH3
(ppm)
|
I
|
28,2
|
7,15
|
4,30
|
0,39
|
II
|
27,8
|
7,35
|
4,43
|
0,66
|
Berdasarkan dari data pada
Tabel 9 maka kualitas air untuk bak pemeliharaan larva termasuk baik. Hal ini
karena pada bak pemeliharaan larva memiliki suhu yang berkisar antara 27,8 - 28,2
oC. Sedangkan suhu optimal untuk larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus)
adalah berkisar antara 25 - 33o C (Sunarma, 2004).
Hasil dari pengukuran pH pada
bak pemeliharaan larva ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus ) adalah 7,15 - 7,35. Kisaran pH yang
terdapat pada bak pemeliharaan larva termasuk baik karena pH yang dibutuhkan
untuk budidaya ikan Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus ) yaitu
berkisar antara 6 - 9 (Sunarma, 2004).
Hasil dari pengukuran DO
(oksigen terlarut) dari bak pemeliharaan larva adalah 4,30 - 4,43 mg/liter.
Kandungan oksigen terlarut (DO) yang terdapat dalam bak pemeliharaan larva
sudah baik karena oksigen terlarut yang baik untuk Patin Siam (Pangasius hypopthalamus )
yaitu lebih dari 3 ppm/liter (Sunarma, 2004).
Pada Tabel pengamatan didapati hasil pengukuran ammonia berkisar 0,39 - 0,66 ppm. Toksisitas ammonia
terhadap organisme budidaya dapat meningkat jika terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, pH dan suhu.
4.5.2. Pakan
Pada
pemeliharaan larva unur 1 hari tidak diberi pakan karena pada umur tersebut
larva masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Dan pada saat itu
pula organ pencernaannya masih belum terbentuk secara sempurna. Setelah larva
berumur 2 hari larva ikan patin diberikan pakan alami berupa artemia. Naupli
artemia merupakan jenis pakan alami yang paling tepat untuk diberikan pada
larva, karena naupli artemia berenang lambat sehingga mudah ditangkap. Pada
saat pemberian pakan alami naupli artemia aerasi dimatikan terlebih dahulu agar
larva dapat dengan mudah menangkap nauli artemia sp dengan frekuensi pemberian
5 kali/hari yaitu jam 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00 WIB secara
adlibitum. Umur 3 - 7 hari larva diberi cacing tubifex sp yang telah dihaluskan
dengan cara dicincang terlebih dahulu karena bukaan mulut larva masih kecil dan
ditambahkan vitamin C . Setelah berumur 8 hari larva sudah biasa makan cacing
tubifex utuh/hidup, karena bukaan mulutnya yang sudah membesar dan
pencernaannya sudah terbentuk. Larva ikan patin akan cepat mengalami
pertumbuhan apabila diberi pakan alami berupa cacing tubifex sp. Karena cacing
tubifex sp merupakan pakan yang memiliki protein yang cukup tinggi bagi
perkembangan larva ikan, hal ini sesuai dengan nilai gizi cacing sutra. Kadar
protein yang terkandung dalam cacing ini sebesar 55% sampai 61% dari bobot
kering, lemak antara 16% sampai 27% dan karbohidrat 7% sampai 12% dari bobot
kering (Nurhasanah, 1997). Agar kualitas air tetap baik dilakukan penyimponan
kotoran setiap hari sebelum dilakukan makanan pertama pada pagi hari.
4.5.3 Hama dan Penyakit
Selama pemeliharaan tidak
ditemukan hama dan penyakit pada larva ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus), hanya saja di lakukan pencegahannya yaitu dengan
memberikan vitamin C pada pakan alami berupa turbifex yang telah
dicincang
4.5.4
Pemanenan
Pemanenan
dilakukan pada saat larva berumur 14 hari,
kegiatan ini dilangsungkan pada pagi hari. Larva ikan yang berada didalam bak
fiber diambil dengan menggunakan scopnet kemudian dimasukkan kedalam plastik
sebelum dipindah kan
kedalam kolam pendederanl atau dijual langsung kepada para pembeli. Data
panjang maupun berat larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) selama pemeliharaan di BBPBAT Sukabumi
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Data Panjang dan Berat Rata-rata Benih Ikan Patin Siam
Sampling
|
Hari ke
|
Panjang rata-rata
(cm)
|
Berat rata-rata (g)
|
1
|
10
|
1,1
|
0,51
|
2
|
10
|
1,2
|
0,40
|
3
|
10
|
1,1 8
|
0,50
|
4
|
10
|
0,95
|
0,57
|
5
|
10
|
1,1 5
|
0,55
|
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat
pertambahan panjang dan berat rata-rata benih ikan patin. Pada hari kesepuluh
panjang rata-rata benih patin siam
sebesar 1,12 dan beratnya sebesar 0,51 gram gambar dilihat pada lampiran 6.
Untuk
mendapatkan derajat kelangsungan hidup larva yang tinggi, kita harus
menyediakan sumber makanan yang mencukupi dan pengeloalaan kualitas air yang
baik agar kelangsungan hidup larva dapat terjaga. Tingkat kelangsungan hidup
larva Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus) yang baik
adalah diatas angka 70 % (Sunarma, 2004). Berdasarkan data Tabel 11,
kelangsungan hidup (SR) larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) termasuk baik karena dari induk pertama
sampai keempat melebihi angka 70%.
Tabel 11. Kelangsungan Hidup (Survival Rate) Larva Patin Siam Selama 14 Hari Pemeliharaan
Hapa
|
Jumlah Padat Tebar
Awal
|
Jumlah Larva Akhir
|
SR
(%)
|
I
|
399.070
|
333.060
|
83
|
II
|
357.899
|
301.340
|
84
|
III
|
277.832
|
190320
|
69
|
IV
|
364.032
|
317200
|
87
|
Dari Tabel 11 didapat hasil SR 69 %
– 87 % dikarenakan banyaknya jumlah
padat tebar dalam satu wadah sehingga ikan cendrung bersifat kanibalisme
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Teknik pembenihan ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) meliputi seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva, manajemen pemberian pakan, pengelolaan kualitas air dan panen.
2. Derajat
pembuahan larva (FR), derajat penetasan telur (HR), dan tingkat kelulushidupan larva (SR) Patin Siam
(Pangasius hypopthalamus) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Tawar Sukabumi masih tergolong baik.
3.
Kualitas air bak pemeliharaan larva yang diukur adalah
: Suhu 27,8 - 28,2 oC, pH 7,15-7,35 ,Oksigen terlarut 4,30 - 4,43 ppm, NH3 0,33 – 0,66 ppm.
5.2. Saran
Saran
yang dapat diberikan dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan yaitu : Hatcheri patin II memerlukan perbaikan
pada jendelanya karena kusen jendela sudah lapuk dan berlubang sehingga udara
dapat masuk kedalam hatchery yang menyebabkan suhu di hatchery tidak konstan.
Ketelitian
sumberdaya manusia perlu ditingkatkan dalam persiapan peralatan yang akan
digunakan dlam kegiatan pembenihan agar hasil yang didapatkan akan semakin
maksimal.
VI. ANALISIS USAHA
Prospek Usaha
Asumsi
- Berat induk yang digunakan 3 kg/ekor, Setiap siklus pemijahan 4 ekor induk. Sehingga berat induk total 12 kg/siklus
- Setiap induk menghasilkan telur 400 gram, jadi total 1600 gram telur
- Setiap gram telur terdiri dari 1200 butir telur. Sehingga telur yang dihasilkan adalah : 1200 X 1600 gram = 1.920.000 butir telur hasil stripping
- Derajat penetasan telur 80%. Sehingga telur yang menetas adalah : 1.920.000 X 60 % = 1.536.000 ekor larva yang menetas.
- Tingkat kelangsungan hidup rata-rata 50%, maka : 1.536.000 X 50% = 921.600 ekor benih ukuran 1 inch.
- Satu siklus selama 1 bulan, Produksi dilakukan selama 1 bulan, produksi dilakukan setiap bulan.
Analisis Usaha
a.
Investasi
1.
Gedung Pemeliharaan (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp
300.000.000
2.
Pembuatan kolam induk (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp. 5.000.000
3.
Bak fiber pemeliharaan ( usia ekonomis 10 tahun ) Rp. 10.000.000
4.
Pompa (Usia ekonomis 5 tahun) Rp.
2.000.000
5.
Bak penetasan (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp.
5.000.000
6.
Peralatan perlengkapan (Usia ekonomis 2 tahun) Rp. 1.000.000
7.
High Blow (Usia ekonomis 4 tahun) Rp.
3.000.000
8.
Induk (Usia ekonomis 1 tahun ) Rp. 500.000
9.
Heater 10 buah (Usia ekonomis 1 tahun ) Rp. 500.000
Jumlah
Rp.
327.000.000
b.
Biaya Tetap
1.
Penyusuta gedung Rp. 2.500.000
2.
Penyusutan kolam Rp. 41.700
3.
Penyusutan fiber Rp.
84.000
4.
Penyutan pompa Rp.
34.000
5.
Penyusutan bak penetasan Rp.
84.000
6.
Penyusutan perlengkapan Rp.
41.700
7.
Penyusutan high blow Rp.
25.000
8.
Penyusutan induk Rp. 50.000
9.
Penyusutan Heater Rp.
41.700
Jumlah
Rp. 2.902.100
c.
Biaya tidak tetap
1.
Pakan induk Rp.
1.000.000
2.
Artemia 8 kaleng Rp. 2.500.000
3.
Cacing Rp. 500.000
4.
HCG Rp. 1.200.000
5.
Ovaprim Rp.
1.000.000
6.
Larutan fisiologis Rp.
20.000
7.
Obat - obatan Rp.
100.000
8.
Pengisian Oksigen Rp.
100.000
9.
Listrik Rp.
200.000
10.
Telepon Rp.
100.000
Jumlah Rp.
6.720.000
d.
Baya produksi
= Biaya tidak
tetap + Biaya tetap
= Rp. 6.720.000 + Rp. 2.902.100.
= Rp. 9.622.100
e.
Hasil Usaha
= Penjualan Benih Patin ukuran 1 inch = 921.600
ekor X Rp. 100
= Rp. 92.160.000
f.
Keuntungan
= Hasil Usaha –
Biaya Produksi
= Rp. 92.160.000
– Rp. . 9.622.100
= Rp. 82.537.900
g.
Jangka waktu pengembalian modal
={(Investasi +
Biaya produksi ) : keuntungan } X lamanya siklus
= {(Rp. 327.000.000
+ Rp. 9.622.100) : Rp. . 82.537.900} X 1 bulan
= 4 bulan
Artinya Modal
akan kembali setelah 4 bulan
h.Benefit Cost Ratio
= Hasil usaha :
Biaya Produksi
= Rp. 92.160.000:
Rp. 9.622.100
=9.58
Artinya hasil
usaha yang diterima setelah satu siklus pemeliharaan adalah 9.58 kali dari biaya produksi yang
telah dikeluarkan.
h. Break event point
= Biaya tetap :
(1-Biaya tidak tetap : Hasil usaha )
= Rp. 2.902.100.:
( 1- Rp . 6.720.000: Rp. 92.160.000)
= Rp. 3.120.537
Artinya, Usaha
ikan patin ini tidak rugi dan tidak untung (impas) saat dihasilkan pendapatan
sebesar Rp. 3.120.537 dari penjualan tiap siklus.
DAFTAR PUSTAKA
Agribisnis & Aquacultures. 2008. Prospek Usaha
Ikan Patin Menjanjikan. http://citrakaryanusantara.blogspot.com/. (Akses 10
November 2009).
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar. Penerbit Kansius. Yogyakarta.
Daelami, D.A.S. 2001. Usaha
Pembenihan Ikan Air Tawar. Penebar Swadaya (Anggota IKAPI). Jakarta. 166 hal.
Djariah,
A.S. 2001. Budi Daya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta.
87 hal.
Efendi. 1997. Metode Penelitian Survey. Jakarta : PT. Pustaka LP3S Indonesia
Effendi, H., 2003 Telah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya
Lingkungan Peraiaran. Kanasius. Yogyakarta.
257 hal.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.
Rieka Cipta, Jakarta.
179 hal.
Hardjamulia, A.R. Djajadireja, S. Atmawinata dan D. Idris. 1985.
Pembenihan Ikan Jambal Siam (Pangasius
sutchi) dengan Suntikan Ekstrak Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio). Buletin Penelitian Perikanan I. (2) : 183 - 190
Heckling, C.F. 1971. Fish Cultur Feber and Faber. London 317 P.
Heru. 2006. Budidaya Ikan di Pekarangan.
Penebar Swadaya. Jakarta
Khairuman.
2007. Budidaya Patin Super. Agro Media. Jakarta.
Melianawati, R. dan K. Suwirya. 2005.
Pengaruh Dosis Pakan Terhadap Pertumbuhan Juvenil Kakap Merah (L. argentimaculatus). Buku Perikanan
Budidaya Berkelanjutan. 135-142 p.
Miswanto. 2002. Pembenihan Ikan Mas (Cyprinus
Carpo L). Laporan Magang Fakultas
Perikanan UNRI. 59 hal (tidak diterbitkan).
Mudjiman, A. 2001. Makanan Ikan. cetakan ke-15. Jakarta: PT
Penebar Swadaya. 190 hal.
Nurhasanah.1997.Petunjuk
teknis pembenihan ikan patin indonesia
Pangasius djambal. IRD dan Pusat Riset Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. Karya Pratama. Jakarta.
Rustidja. 2004. Pembenihan
Ikan-Ikan Tropis, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Sarwisman. 2002. Pembenihan Ikan Jambal Siam.
Laporan Magang Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI. 52 hal (tidak
diterbitkan).
Slembrouck, Stef . 2003.
Explanation, Interperation and Critique in the Analysis Of Discourse. Critique
of Anthropology, 21:33-57
Subandiyah, Yogyakarta:
Faculty of Agriculture GMU, 1990 8 hal.
Sumandinata,
K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Peliharaan di Indondesia. PT. Sastra
Hudaya. Bogor.
Sunarma,
A. 2004. Teknik Pembenihan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus). BBPBAT.
Sukabumi.
Susanto,
H. dan Khairul Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.90 hal
. 2001. Budidaya Ikan Patin, Jakarta: Penebar Swadaya
Sutisna P.H. dan Sutarmanto.
2003. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Pemeliharaan di Indonesia.
Umri, 2005. Pendederan Benih Ikan Jambal Siam (Pangasius pangasius) Dengan Sistem Resirkulasi Filter Sphon.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru.
Langganan:
Postingan (Atom)