I. PENDAHULUAN
Ikan merupakan sumber daya perairan yang dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan sumber daya pertanian dan perternakan. Perikanan merupakan suatu upaya manusia untuk menggali sumber daya hayati perairan yang digunakan bagi kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup. Sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting didalam pemenuhan protein hewani.
Usaha pembenihan merupakan usaha yang sangat penting pada sektor budidaya perikanan, karena penyediaan benih adalah mutlak. Kekurangan benih ikan dapat menimbulkan kendala bagi peningkatan produksi. Secara umum dapat dikemukakan bahwa kelemahan kegiatan pembenihan terletak pada rendahnya kelangsungan hidup yang biasanya disebabkan oleh kekurangan makanan, adanya perubahan suhu yang besar, faktor cahaya, salinitas, dan kadar oksigen terlarut. Salah satu faktor yang juga merupakan kelemahan dalam pembenihan adalah besarnya kisaran temperatur antara siang dan malam hari. Kegiatan yang benar-benar terkontrol tidak boleh lebih dari 32˚C.
Persiapan pembenihan merupakan langkah awal pendukung tercapainya peningkatan suatu usaha perikanan. Sesuai dengan tuntutannya upaya yang dilakukan untuk mempersiapkan pembenihan sangat erat kaitanya dengan penyediaan induk ikan, bahan penempel telur dan wadah pemijahan. Penyedian benih ikan dalam kualitas yang memadai merupakan salah satu syarat mutlak yang dapat menentukan suatu keberhasilan usaha pembenihan (Rohadi, 1996)
Usaha pembenihan meliputi beberapa kegiatan yaitu; seleksi induk, pemijahan, penetasan, perawatan larva, dan pendederan (Pribadi et., al dalam Miswanto, 2002).
Dalam pembangunan usaha budidaya perikanan, maka penyediaan benih yang bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau oleh petani ikan sangat diperlukan, oleh karena itu tujuan mendirikan balai benih ikan dalam skala kecil tidak saja dapat dilakukan oleh pemerintah tapi juga pihak swasta (Dahril dalam Sarwisman, 2002)
Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik pada tahap pembenihan maupun pembesaran. Ikan ini memiliki kandungan protein yang cukup tinggi kadar kolesterol yang relatif rendah serta memiliki kandungan kalori sehingga ikan ini baik untuk dikonsumsi ( Khairuman, 2002). Sebab dengan hal tersebut penulis melakukan praktek magang di BBPBAT Sukabumi, Jawa Barat tentang cara pemijahan ikan patin sehingga ilmu yang didapatkan nantinya dapat diterapkan kepada masyarakat.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktek magang ini adalah untuk mengetahui tehnik pembenihan Ikan Patin (Pangasius pangasius) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Suka Bumi, Jawa Barat. Selain itu menemukan permasalahan yang ada dan mencari alternatif pemecahan masalah tersebut.
Manfaat dari hasil praktek magang ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan, sehinggah ilmu yang diperoleh bisa dijadikan bekal ke masyarakat dalam menghadapi dunia kerja.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi dan Ekologi Ikan Patin (Pangasius pangasius)
Gambar 1. Ikan Patin Siam (Pangsius hypopthalmus)
Ikan patin merupakan salah satu dari 14 spesies pangasiid yang sudah cukup lama di Indonesia. Pangasius hypopthalmus merupakan introduksi dari Thailand dan menjadi salah satu ikan populer yang dibudidayakan di Indonesia (Slembrouck, J. et all., 2003).
Menurut Susanto dan Amri (2002), klasifikasi ikan patin adalah sebagai berikut:
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroide
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius hypopthalmus
Djariah (2001) mengatakan, ikan patin memiliki warna tubuh putih keperak - perakan dan punggung kebiru - biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil, pada ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut yang pendek. Susanto dan Amri (2002) menambahkan, pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Memiliki sirip dada 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari - jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil, di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil.
Di alam, penyebaran geografis ikan patin cukup luas, hampir di seluruh wilayah Indonesia. Secara alami ikan ini banyak ditemukan di sungai-sungai besar dan berair tenang di Sumatera, seperti Sungai Way Rarem, Musi, Batanghari dan Indragiri. Sungai-sungai besar lainnya di Jawa, seperti Sungai Brantas dan Bengawan. Bahkan keluarga dekat lele ini juga dijumpai di sungai-sungai besar di Kalimantan, seperti Sungai Kayan, Berau, Mahakam, Barito, Kahayan dan Kapuas. Umumnya, ikan ini ditemukan di lokasi-lokasi tertentu di bagian sungai, seperti lubuk (lembah sungai) yang dalam (Agribisnis & Aquacultures, 2009).
Budi daya ikan Patin (Pangsius hypopthalamus) bisa dilakukan pada ketinggian 1meter – 800 meter diatas permukaan laut. Penggunaan teknologi yang memadai, terutama pengaturan suhu perairan, kegiatan budidaya masih tetap bisa dilakukan pada lahan yang memilki ketinggian 800 meter diatas permukaan laut (Sunarma, 2004).
Susanto dan Amri (2002) menyatakan, ikan patin bersifat nocturnal atau melakukan aktivitas dimalam hari sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai, termasuk ikan dasar , hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah.
2.2. Pembenihan
2.2.1. Seleksi Induk
Seleksi ini dilakukan terhadap stok induk yang ada dengan tujuan untuk mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat diturunkan (Sutisna dan Sutarmanto, 2003). Selain itu seleksi juga untuk mendapatkan induk yang telah matang gonad dan siap untuk dipijahkan.
Ketelitian saat seleksi induk merupakan penentu keberhasilan dari kegiatan pemijahan karena induk yang berkualitas akan menghasilkan telur dan larva yang berkualitas pula. Sebaliknya, induk yang kurang berkualitas akan menghasilkan telur dan larva yang lemah yang berakibat pada kelangsungan hidup yang rendah (Rustidja, 2004).
Induk ikan patin jantan yang telah siap dipijahkan memiliki cirri-ciri papilla menonjol dan kemerahan, tubuh langsing, apabila perut diurut akan keluar sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Sedangkan induk betina memiliki cirri-ciri perut nampak besar dan lembek serta halus saat diraba, papilla membengkak dan berwarna merah tua, kulit pada bagian perut terasa lembek dan tipis dan apabila diperiksa dengan selang kanulasi (kateter) akan diperoleh telur dengan ukuran seragam berwarna transparan (Susanto dan Amri , 2001).
Jumlah induk jantan dan induk betina untuk pemijahan tergantung pada rencana reproduksi dan sistem pemijahan yang digunakan. Pada sistem pemijahan buatan diperlukan banyak induk jantan sedangkan pada pemijahan alami jumlah jantan dan betina dapat berimbang. Induk patin siam (Pangasius hypopthalamus) sebaiknya dipelihara secara terpisah dengan padat tebar 5 ekor/m2 bisa dipelihara dengan sistem air mengalir maupun sistem air tenang. Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan kandungan protein diatas 25% dengan jumlah pakan sebanyak 2 - 3% dari bobot tubuh ikan dan frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari (Sunarma, 2004).
2.2.2. Pemijahan
Pemijahan adalah proses pertemuan antara ikan jantan dan betina untuk melakukan pembuahan telur oleh spermatozoa yang terjadi diluar tubuh atau secara eksternal. (Effendi, 1997) menyatakan bahwa pemijahan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan ikan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya. Hal-hal yang perlu dilakukan pada proses pembenihan antara lain, pengadaan induk yang meliputi karantina dan perawatan induk. Hal itu bertujuan untuk memilih induk yang berkualitas baik. Biasanya induk-induk yang berasal dari alam memiliki kualitas yang kurang baik sehingga perlu dilakukan karantina dan perawatan untuk meningkatkan kualitas induk.
Pemijahan ikan patin biasanya dilakukan dengan teknik kawin suntik karena induk patin sulit terangsang untuk memijah bila dengan perlakuan secara alami. Teknik pemijahan induksi (induce breeding) dengan menyuntikkan larutan hipofisa dicampur dengan ovaprim. Biasanya, teknik ini diikuti dengan teknik pengurutan (stripping) agar telur tidak berceceran dan bisa ditetaskan di dalam akuarium (Heru, 2006)
Pematangan gonad untuk merangsang proses perkembangan telur sangat penting pada kegiatan budidaya ikan. Karena pada salah satu masalah utama yang dihadapi didalam produksi benih secara buatan adalah minimnya ketersediaan induk matang gonad.
2.2.3. Penetasan
Fertilisasi Merupakan proses masuknya spermatozoa ke dalam telur ikan melalui lubang mikrofil yang terdapat pada chorion dan selanjutnya akan terjadi perubahan pada telur dalam proses pembuahan. Telur ikan dan sperma mempunyai zat kimia yang terbentuk dalam proses pembuahan. Zat tersebut adalah gamone. Gamone yang dikeluarkan sel telur disebut gynamone 1 dan gynamone 11 (Febriani dan Marlina , 2004). Setelah telur dibuahi sampai dengan menetas maka akan terjadi proses embriologi (masa pengeraman) yaitu mulai dari satu sel, dua sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel, 128 sel sampai pra blastula – gastula – neurola – embrio – penetasan (Sutisna dan Sutarmanro , 2003).
Penetasan disebabkan oleh gerakan-gerakan larva akibat peningkatan suhu, intensitas cahaya dan pengurangan oksigen dalam cangkang (Sutisna dan Sutarmanto , 2003).
Perkembangan dan penetasan telur akan berlangsung sangat cepat pada kondisi air hangat. (Sutisna dan Sutarmanto , 2003). Suhu dapat menyebabkan penetasan prematur sehingga menghasilkan larva yang lemah. Sebaliknya air yang terlalu dingin dapat memperlambat perkembangan telur dan reproduksi enzim mengakibatkan telur-telur tersebut tidak dapat menetas karena lambatnya proses pembentukan enzim pelarut cangkang telur (Rustidja, 2004). Telur akan menetas dalam waktu 30 – 35 jam pada suhu 27-29 oC (BBPBAT Sukabumi, 2003).
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada sistem air yang mengalir untuk menjamin ketersedian oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi dan peningkatan kandungan oksigen terlarut dapat pula diupayakan dengan pemberian aerasi (Sunarma, 2004).
Telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) menetas 35 - 40 jam setelah pembuahan pada suhu 24 - 26 oC. Larva yang baru menetas memilki cadangan makanan berupa kantung telur yang akan diserap sebagai sumber makanan bagi larva. Penetasan dan penyerapan kuning telur akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pakan dapat mulai diberikan setelah larva berumur 2 hari (Sunarma, 2004).
2.2.4. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva pasca penetasan telur dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi dengan aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan larva dalam happa dilakukan selama 1 hari tanpa diberi pakan, karena larva pada saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Larva ikan patin mulai membutuhkan makan dari luar setelah cadangan makanannya yang berupa yolk suck telah habis. Pada fase ini larva ikan patin bersifat kanibal (Slembrouck , et all , 2003). Larva yang berumur 2 hari diberi pakan berupa artemia sampai berumur 7 hari kemudian dilanjutkan dengan pemberian cacing sutera hingga berumur 14 hari (BBPBAT Sukabumi, 2003). Pada perkembangan larva membutuhkan lingkungan yang kaya oksigen. Fluktuasi suhu yang besar perlu dihindari selama stadia larva untuk mencegah terjadinya stress. Perubahan suhu yang besar dapat mematikan larva.
Secara morfologi, benih telah memiliki kelengkapan organ tubuh meskipun dalam ukuran yang sangat kecil dan berwarna agak putih. Benih yang dipelihara belum terlihat alat kelaminnya, sehingga belum dapat dibedakan antara benih jantan dengan benih yang betina. Setelah larva berumur 3 hari selanjutnya benih ditebar pada bak pemeliharaan. Benih yang ditebar dalam kondisi sehat, hal ini dapat diketahui dari gerakannya yang lincah dan bersifat agresif terhadap makanan.
2.3. Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam pertumbuhan ikan, baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Sedangkan pakan dibutuhkan oleh ikan sejak mulai hidup yaitu dari larva, dewasa sampai ukuran induk.
Penggunaan pakan dalam pemeliharaan larva berpengaruh secara dominan terhadap pertumbuhan ikan kerena pakan berfungsi sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan dan mempertahankan hidupnya (Huet, 1971 dalam Melianawati dan Suwirya, 2005).
Menurut Mudjiman (2001), mengatakan bahwa makanan ikan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu makanan alami dimana makanan tersebut dihasilkan secara alami diperairan, makanan tambahan yaitu makanan yang diberikan dalam bentuk asli yang langsung dapat dimakan oleh ikan dan makanan buatan yaitu makanan yang diramu dari beberapa bahan kemudian diolah menjadi bentuk khusus sebagaimana dikehendaki.
Tidak semua makanan yang dimakan ikan digunakan untuk pertumbuhan. Sebagian besar energi dari makanan digunakan untuk aktifitas, pertumbuhan dan reproduksi (Fujaya, 2004).
2.4. Kualitas Air
Air merupakan media hidup bagi ikan dimana di dalamnya mengandung berbagai bahan kimia lainnya, baik yang terlarut dan dalam bentuk partikel. Kualitas air bagi perikanan didefenisikan sebagai air yang sesuai untuk mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan, dan biasanya hanya ditentukan dari beberapa parameter. Unsur kualitas air yang paling berpengaruh terhadap kehidupan ikan antara lain suhu, oksigen terlarut (DO), keasaman (pH) dan kesadahan (Daelami, 2001).
Kualitas air merupakn faktor yang penting terhadap keberhasilan budi daya ikan, dan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat kelulushidupan pertumbuhan makhluk hidup (Asmawi, 1984 dalam Umri, 2005 ). Sedangkan menurut Heckling (1971), faktor yang mempengaruhi organisme air adalah parameter kualitas air seperti : suhu, oksigen terlarut dan CO2 bebas. Ikan sebagai organisme yang hidup di air sangat tergantung pada kualitas air pada batas toleransi yang dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan secara normal kisaran batas-batas yang masih dapat ditoleransi sebagai berikut ; O2 terlarut 3 - 8 ppm, nilai optimumnya 5 - 6 ppm, pH 6 - 9 dan suhu 20 - 28 ÂșC.
Menurut Cahyono (2000) derajat keasaman (pH) air dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan. Derajat keasaman air yang rendah atau sangat asam dapat menyebabkan kematian ikan, keadaan air sangat basa juga menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat. Keadaan pH air yang bersifat netral atau basa akan lebih baik dibandingkan air yang bersifat asam. Adapun pH air kecil dari 5,5 akan menjadi racun (toksin) bagi kebanyakan ikan di kolam, dan pH diatas 9 berbahaya sekali bagi kehidupan ikan.
Ammoniak bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksit terhadap organisme akuatik dan toksisitas amoniak terhdap terhadap organisme akuatik dan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu (Effendi, 2003)
Hasil metabolisme berupa feses dapat menghasilkan ammoniak, dimana ammoniak ini sangat berbahaya bagi kehidupan ikan dan dapat menyebabkan kematian bagi ikan. Untuk itu cara penanggulangannya dilakukan dengan penyiphonan dan pemberian pakannya harus disesuikan. Asyari et al (1992) dalam Umri (2005) menyatakan bahwa pemeliharaan larva selama pendederan lebih baik dengan sistem air mengalir karena ini akan mempengaruhi terhadap kualitas air dengann fluktuasi yang besar dan akan memberikan angka kelulushidupan yang lebih baik.
2.5. Hama dan Penyakit
Penyakit yang menyerang pada pemeliharaan induk Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) antara lain MAS (Motil Aeromonas Septicemia) yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla. Gejala yang timbul pada ikan yang terserang bakteri ini adalah terdapat bercak-bercak merah pada bagian permukaan tubuh, kurangnya nafsu makan dan gerakan kurang agresif. Penyakit ini timbul karena keadaan lingkungan yang kurang baik, nutrisi yang kurang dan faktor genetik. Apabila kondisi induk terserang penyakit maka telur yang dihasilkan akan kurang baik (Sunarma, 2004).
Organisme patogen yang menyebabkan infeksi biasanya berupa parasit,
jamur, bakteri, dan virus. Produksi benih ikan patin secara masal masih
menemui beberapa kendala antara lain karena sering mendapat serangan
parasit Ichthyoptirus multifilis (white spot) sehingga banyak benih patin yang mati.
jamur, bakteri, dan virus. Produksi benih ikan patin secara masal masih
menemui beberapa kendala antara lain karena sering mendapat serangan
parasit Ichthyoptirus multifilis (white spot) sehingga banyak benih patin yang mati.
Ada dua cara pengendalian hama dan penyakit yang bisa dilakukan, yaitu pencegahan dan pengobatan. Pencegahan merupakan upaya untuk menjaga agar tidak terjadi serangan, sedangkan pengobatan merupakan upaya untuk mengobati ikan - ikan yang sakit agar sembuh. Dari kedua cara tersebut, pencegahan merupakan cara yang paling efektif dibanding pengobatan karena biayanya lebih murah dan tidak ada efek sampingan terhadap ikan dan orang yang mengonsumsi ikan.
2.6. Pemanenan
Pemanenan merupakan kegiatan akhir dari suatu budidaya sehingga tidak kalah pentingnya dibandingkan kegiatan lain. Kesalahan dan keteledoran dalam pemanenan dan pengangkutan bisa berakibat fatal dan target produksi tidak dapat tercapai. Umumnya ikan yang dipanen diangkut dalam keadaan hidup sehingga penanganannya harus serius (Sumandinata, 1983).
Larva dapat dipanen pada umur 1 hari setelah penetasan atau saat larva berumur 14 hari karena pada ssat ini larva memasuki tahap pendederan pertama (PI). Cara pemanenan larva adalah dengan cara aerasi dimatikan serta pemberat pada hapa yang terbuat dari besi behel ukuran 5 mm berbentuk persegi panjang diangkat kemudian larva dikumpulkan pada satu titik di dalam hapa dengan menggunakan paralon. Larva diangkat dengan menggunakan scopnet dan dimasukkan kedalam baskom sehingga larva ada yang dijual dan sebagian larva dipelihara pada bak pemeliharaan, sementara untuk pemanenan di dalam bak pemeliharaan dilakukan dengan cara air dikurangi dan aerasi dimatikan dan larva di dipindahkan di baskom kemudian untuk penghitungan larva dilakukan dengan menggunakan tabung ukur berfungsi sebagai takaran dan mempermudah dalam perhitungan (Sunarma, 2004).
III. METODE PRAKTEK
3.1. Waktu dan Tempat
Praktek magang ini dilakukan pada tanggal 26 Januari sampai dengan tanggal 14 Februari 2011 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi Provinsi Jawa Barat.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktek magang ini adalah induk ikan Patin siam yang sudah matang gonad yang mempunyai berat 1,5 – 2,5 kg yang berjumlah 11 ekor dengan perbandingan 4 : 7 (4 ekor betina 7 ekor jantan), Artemia, Tubifex sp untuk pakan alami larva dan vitamin C merk Premium-C sebagai bahan campuran pada pakan alami, serta seluruh faktor penunjang yang terdapat di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat.
Alat-alat yang digunakan adalah hapa, bak pakan alami, timbangan, Alat suntik, bak pemeliharaan larva, pH meter untuk mengukur derajat keasaman air (pH), DO meter untuk mengukur kadar oksigen terlarut, spectrofotometer untuk mengukur kadar amoniak, selang aerasi, batu aerasi, baskom, gelas ukur, kamera, selang sipon, dan alat-alat tulis.
3.3. Metode Praktek
Metode praktek yang digunakan yaitu studi kasus dengan cara melakukan pembenihan ikan patin siam (Pangasius hypopthalamus) yang dipijahkan di happa serta melakukan wawancara langsung dengan staf karyawan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Pengamatan dan pengambilan data serta informasi melalui pengamatan terhadap objek di lapangan. Sedangkan data skunder diperoleh dari kantor BBPBAT Sukabumi serta literatur yang mendukung laporan praktek magang ini.
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Seleksi Induk
Seleksi induk patin tidak selalu dapat memijah secara serentak, hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan umur dan tingkat kematangan gonad. Untuk mendapatkan induk yang matang gonad dan siap untuk dipijahkan maka perlu dilakukan seleksi induk. Induk jantan yang siap dipijahkan mempunyai ciri-ciri papilla menonjol dan kemerahan, tubuh lebih langsing dan memanjang, serta apabila diurut akan keluar sperma yang berupa cairan kental berwarna putih susu. Induk jantan ini diseleksi dengan metode striping, sedangkan induk betina memiliki ciri-ciri perut nampak besar dan lembek, papilla kemerahan dan memiliki telur yang seragam berkisar antara 0,9 - 1,2 mm dan berwarna putih. Telur ini diambil dengan metode kanulasi yaitu memasukkan selang kanulasi (kateter) ke dalam lubang genital dengan kedalaman 9-10 cm, kemudian telur disedot dan diambil sebagai sampel untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya.
Untuk memastikan apakah induk patin (Pangasius hypopthalamus) yang dipelihara sudah memasuki tahap untuk siap dipijahkan, maka dilakukan pengecekan terhadap kelamin induk (Gambar 2). Langkah-langkah penyeleksian sebagai berikut: Penyeleleksian induk jantan dan betina dilakukan dengan cara striping, bila induk jantan distriping akan mengeluarkan sperma (cairan berwarna putih), dan untuk induk betina apabila distriping akan mengeluarkan telur yang seragam maka indukan tersebut siap untuk dipijahkan.
Gambar 2. Seleksi Induk
3.4.2. Pemijahan
Pemijahan ikan Patin siam (Pangasius hypopthalamus) dilakukan dengan cara pemijahan buatan yaitu dengan menyuntikan hormon perangsang yang berasal dari kelenjar hipofisa LH-RH-A atau hCG atau hormon sintetis dengan merk dagang ovaprim (BBPBAT Sukabumi, 2003). Penyuntikkan dilakukan dengan tujuan untuk merangsang pemijahan yang sudah matang gonad, ikan patin sulit dipijahkan secara alami karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai (Susanto H, 1999).
Pemijahan ikan patin mengalami kesulitan pada musim kemarau karena ikan patin memiliki kebiasaan memijah pada musim penghujan. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilakukan penyuntikan dengan menggunakan hormon yang berbeda. Penyuntikan dengan menggunakan hormon bertujuan untuk merangsang perkembangan gonad dan ovulasi secara lebih cepat pada musim kemarau. Hormon yang biasa digunakan adalah hCG menurut (Slembrouck, 2003) penyuntikan pada induk betina, hCG digunakan pada penyuntikan pertama dengan dosis 500 IU/kg
Rumus Penghitungan Dosis hCG :
Penyuntikan kedua dengan menggunakan ovaprim 0,6 ml/kg. Penyuntikan induk jantan cukup menggunakan ovaprim dengan satu kali penyuntikan menggunakan dosis 0,2 ml/kg.
Gambar 3. Hormon yang Digunakan
Keesokan harinya ikan patin siap untuk dipijahkan atau dilakukan fertilisasi dengan cara pencampuran sperma dengan telur. Alat - alat yang dibutuhkan berupa peralatan pemijahan (baskom plastik), kain lap, tisu gulung.
Sebelum dilakukan striping pada induk betina, terlebih dahulu dilakukan pengambilan sperma dari induk jantan dengan cara melakukan pemijatan dari perut ke bawah. Usahakan sperma tidak terkena air dengan terlebih dahulu dilakukan pengeringan dengan menggunakan tisu. Sedangkan induk betina distriping untuk mendapatkan telur kemudian telur yang didapatkan dimasukkan kedalam mangkok plastik. Setelah itu telur yang didapat ditambah dengan sperma dan encerkan dengan menggunakan larutan fisiologis (NaCl). Tujuan dari pengenceran ini adalah untuk mempertahankan daya hidup spermatozoa dalam waktu yang relatif lama. Telur dan sperma harus diletakkan di tempat yang tidak terkena sinar matahari. Selanjutnya telur dan sperma segera dibawa ke tempat penetasan (Gambar 4), dan diaduk dengan menggunakan bulu ayam kemudian menggoyang - goyangkan wadah secara perlahan kemudian dicuci dengan air sebanyak dua kali, banyak dan lamanya pencucian dilakukan tergantung dari kondisi telur tersebut, semakin lengket telur maka semakin banyak dan lama pencucian. Kemudian telur ditebarkan pada bak fiber berukuran 4 x 2 x 0,5 m3 yang dilengkapi hapa didalamnya dengan ukuran 2 x 1 x 0,3 m3 secara merata agar tidak terjadi penumpukan telur.
Gambar 4. Proses Pemijahan Buatan
3.4.3. Penetasan Telur
Telur yang sudah dibuahi oleh sperma ditebar pada hapa penetasan yang telah disiapkan. Penebaran dilakukan secara merata dan diusahakan telur tidak menumpuk pada satu tempat atau beberapa tempat saja. Caranya yaitu dengan membuat gelombang kecil dengan tangan saat telur ditebar ke dalam air tetapi belum sampai tenggelam ke dasar hapa. Gelombang tersebut akan menyebabkan telur tersebar secara merata keseluruh hapa.
Gambar 5. Hapa Penetasan Telur
Lama penetasan telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) setelah ditebar didalam bak fiber yang di lengkapi hapa yaitu selama 35 - 40 jam setelah pembuahan (Gambar 5). Pada keesokan paginya dihitung jumlah telur yang terbuahi untuk mendapatkan nilai dari Fertility Rate (% FR). Pada sore harinya dilakukan penghitungan terhadap telur-telur yang sudah menetas untuk mengetahui daya tetas telur (% HR). Selanjutnya itu dilakukan pemeliharaan larva.
3.4.4. Pemeliharaan Larva
Telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi larva setelah 35-40 jam (Sunarma 2004). Larva dipelihara 1 hari pada hapa penetasan dan tidak perlu diberi pakan tambahan, karena kuning telur pada larva baru akan habis pada saat larva berumur 1 hari (Sunarma, 2004). Setelah berumur 2 hari, selanjutnya larva dipindahkan ke dalam bak fiber yang berukuran lebih besar, dan dilakukan penyiphonan secara rutin, hal ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa pakan dan kotoran untuk mencegah hama dan penyakit yang akan timbul.
Gambar 6. Bak Pemeliharaan Larva
3.4.5. Pemanenan
Kegiatan pemanenan dilakukan pada pagi hari, pada saat larva ikan sudah berumur 14 hari. Larva Ikan yang berada didalam bak fiber diambil dengan menggunakan scopnet kemudian dimasukkan kedalam plastik. Sebagian dijual kepada para petani ikan dan sisanya dibesarkan di kolam pendederan.
Proses pemanenan larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) menggunakan alat bantu seperti tabung ukur, ember, baskom, plastik dan scopnet.
Sebelum dilakukan panen, air terlebih dahulu dikurangi sebanyak 80% untuk mempermudah proses pemanenan. Kemudian larva ditangkap dengan menggunakan scopnet dan dimasukkan kedalam baskom dan dilakukan penghitungan dengan menggunakan tabung ukur. (Gambar 7), untuk selanjutnya dipindahkan kedalam bak pemeliharaan yang telah disiapkan atau dijual kepada para pembeli.
Gambar 7. Pemanenan Larva
3.5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi dikumpulkan dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang keadaan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi dan masalah yang dihadapi dicari alternatif pemecahannya. Adapun data yang dihitung selama praktek magang adalah penghitungan telur awal, jumlah telur yang terbuahi, jumlah telur yang menetas, dan kelulushidupan larva menurut Hardjamulia et al (1985) yaitu dengan rumus:
- Penghitungan Telur Awal:
Berat Total Telur x Butir Telur Sampel
Berat Total Sampel
- Penghitungan Telur Terbuahi ( % FR)
%FR = ∑ Telur Terbuahi x 100 %
∑ Total Telur
- Penghitungan Telur Menetas (% HR)
%HR= ∑ Telur Menetas x 100 %
∑ Telur Terbuahi
- Penghitungan Kelulushidupan (% SR)
%SR = ∑ Larva Hidup x 100 %
∑ Telur Menetas
Keterangan : FR = Tingkat Fertilisasi (Pembuahan) Telur
HR = Tingkat Penetasan Telur
SR = Tingkat Kelulushidupan Larva
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum
4.1.1. Sejarah Singkat Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi
Kehadiran Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) diawali menjelang berakhirnya masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1920, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan sebuah lembaga pendidikan pertanian (culture school/landbouw school) di Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang (1943 - 1945), nama lembaga ini diubah menjadi Nougakko, yang juga berarti sekolah pertanian. Memasuki masa kemerdekaan, dengan peran dan fungsi yang sama, nama lembaga ini menjadi Sekolah Pertanian Menengah.
Kiprah dalam dunia perikanan secara khusus dimulai pada tahun 1954, ketika lembaga ini ditetapkan sebagai Pusat Latihan Perikanan. Tahun 1968 s.d 1975 sebutan IT Perikanan (Training Center Perikanan) digunakan. Kemudian lembaga ini difungsikan sebagai Pangkalan Pengembangan Pola Keterampilan Budidaya Air Tawar (P3KBAT) sejak tahun 1976. Peran P3KBAT ditingkatkan ketika pada tahun 1978 secara resmi menjadi Balai Budidaya Air Tawar (BBAT), salah satu unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian.
Untuk meningkatkan peran dan fungsi dalam pelaksanaan tugas-tugas serta beban kerja yang juga semakin meningkat, pada tanggal 12 Januari 2006 Menteri Kelautan dan Perikanan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.06/MEN/2006 yang menetapkan lembaga ini menjadi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT). Berdasarkan peraturan menteri tersebut, kedudukan BBPBAT adalah sebagai unit pelaksana teknis di bidang pengembangan budidaya air tawar yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
4.1.2. Keadaan Lokasi
BBPBAT berlokasi di kota Sukabumi, sekitar 112 km arah tenggara Jakarta. Menempati areal seluas 25,6 hektar yang terdiri dari 10 hektar perkolaman, 12,6 hektar lahan sawah dan kebun serta 3 hektar perkantoran, laboratorium, wisma tamu dan sarana pendukung lainnya. Lokasi tersebut terhampar di ketinggian 700 m diatas permukaan laut dengan suhu harian berkisar antara 20-27 0C. Air yang dimanfaatkan berasal dari sumber air tanah serta air permukaan dari Sungai Panjalu dan Sungai Cisarua.
4.1.3. Kedudukan, Tugas dan Fungsi BBPBAT Sukabumi
Berdasarkan peraturan menteri tersebut di atas, tugas yang dibebankan pada BBPBAT adalah melaksanakan pengembangan dan penerapan teknik pembenihan, pembudidayaan, pengelolaan kesehatan ikan dan pelestarian perlindungan budidaya air tawar.
Dalam melaksanakan tugas BBPBAT Sukabumi menyelenggarakan fungsi:
a. Identifikasi dan perumusan program pengembangan teknik budidaya air tawar
b. Pengujian standar perbenihan dan pembudidayaan ikan air tawar
c. Pengujian alat, mesin dan teknik perbenihan serta pembudidayaan ikan air tawar
d. Pelaksanaan bimbingan penerapan standar perbenihan dan pembudidayaan ikan air tawar
e. Pelaksanaan sertifikasi mutu dan sertifikasi personil perbenihan dan pembudidayaan ikan air tawar
f. Pelaksanaan produksi dan pengelolaan induk penjenis dan induk dasar ikan air tawar
g. Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan serta pengendalian hama dan penyakitikan air tawar
h. Pengembangan teknik dan pengujian standar pengendalian lingkungan dan sumberdaya induk dan benih ikan air tawar
i. Pengelolaan sistem jaringan laboratorium penguji dan pengawasan perbenihan dan pembudidayaan ikan air tawar
j. Pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi pembudidayaan ikan air tawar
k. Pengelolaan keanekaragaman hayati
l. Pelaksanaan urusan tatausaha dan rumahtangga.
4.1.4. Visi dan Misi BBPBAT Sukabumi.
Visi dari BBPBAT Sukabumi adalah mewujudkan balai sebagai institusi pelayanan prima dalam pembangunan dan pengembangan sistem usaha budidaya air tawar yang berdaya saing, berkelanjutan dan keadilan. Sedangkan Misi dari BBPBAT Sukabumi adalah :
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan.
2. Mengembangkan rekayasa teknologi budidaya berbasis akuabisnis dan melaksanakan alih teknologi kepada dunia usaha.
3. Mengembangkan sistem informasi iptek perikanan.
4. Meningkatkan jasa pelayanan dan sertifikasi.
5. Memfasilitasi upaya pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan.
4.1.5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dapat dilihat pada Gambar 8. Adapun komponen-komponennya terdiri dari :
v Kepala Balai BBPBAT Sukabumi
Tugas dari kepala BBPBAT Sukabumi adalah sebagai yang bertanggung jawab terhadap urusan internal dan eksternal.
v Sub Bagian Tata Usaha
Mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha balai. Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi pelaksanaan urusan kepegawaian, surat menyurat, rumah tangga, perlengkapan dan pelaksanaan urusan keuangan.
v Sub Bagian Keuangan
Melakukan pengelolaan urusan administrasi keuangan dan barang kekayaan milik negara serta penyiapan bahan penyusunan evaluasi dan pelaporan BBPBAT.
v Sub Bagian Umum
Melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana, program, dan anggaran serta pengelolaan urusan administrasi kepegawaian, jabatan fungsional, serta pelaksanaan urusan persuratan dan rumah tangga di lingkungan BBPBAT.
v Bidang Standarisasi dan Informasi
Melaksanakan penyiapan dan standar teknik, alat dan mesin pembenihan, pembudidayaan, pengendalian hama dan penyakit ikan air tawar, pengendalian lingkungan dan sumber daya induk dan benih ikan air tawar, serta pengelolaan jaringan informasi dan perpustakaan.
v Seksi Standarisasi
Melakukan penyiapan bahan standar pengujian dan bimbingan penerapan standar pembenihan, pembudidayaan, pengendalian hama, penyakit ikan, lingkungan dan sumber daya induk dan benih ikan air tawar.
v Seksi Pelayanan Teknik.
Melaksanakan pelayanan teknis kegiatan pengujian, pengembangan, penerapan teknik, dan pemantauan serta pengawasan pembenihan dan pembudidayaan ikan air tawar.
v Seksi Sarana Lapangan
Melakukan pengelolaan sarana lapangan kegiatan pengujian, pengembangan, penerapan, pemantauan dan pengawasan teknik pembenihan, budidaya, alat dan mesin, pengendalian hama dan penyakit ikan, pengelolaan kesehatan ikan, lingkungan, serta sumber daya induk dan benih ikan air tawar.
v Seksi Sarana Laboratorium
Melakukan penyedian dan pemeliharaan sarana laboratorium, pengujian teknik pembenihan, pembudidayaan, pengendalian lingkungan, serta pengendalian hama dan penyaakit ikan air tawar.
v Kelompok Jabatan Fungsional
Menyelenggarakan kegiatan perekayasaan, pengujian, penerapan, dan bimbingan pelayanan standar teknik, alat dan mesin, serta sertifikasi pembenihan dan pembudidayaan, pengendalian hama dan penyakit ikan, pengawasan benih dan pembudidayaan serta penyuluhan dan kegiatan lain yang sesuai dengan tugas masing-masing jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gambar 8. Struktur Organisasi di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi
Dalam melakukan fungsi teknis maupun administrasi, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi menggunakan sistem pemilihan yang sesuai dengan keterampilan dan keahlian masing-masing.
4.1.6. Sumber Daya Manusia di BBPBAT Sukabumi
Struktur BBPBAT dilengkapi 148 orang pegawai, termasuk di dalamnya kelompok pejabat fungsional yang terdiri dari perekayasa, teknisi litkayasa, pengawas benih, pengawas budidaya, pengendali hama dan penyakit, pustakawan dan pranata humas, dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Sumberdaya manusia yang tersedia mendukung kemampuan BBPBAT untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dalam bidang perekayasaan pengembangan budidaya air tawar serta memberikan bantuan teknis dan pelatihan budidaya air tawar.
4.1.7. Fasilitas Fisik di BBPBAT Sukabumi
Fasilitas-fasilitas fisik yang terdapat di BBPBAT Sukabumi adalah :
1. 126 buah kolam.
2. Panti benih ikan nila, carp (ikan mas, grasscarp, mola), gurame, catfish (lele, patin, baung), kodok, lobster air tawar (cherax) dan ikan hias.
3. Laboratorium kesehatan ikan, kualitas air, nutrisi serta lab keliling.
4. Karantina.
5. Stasiun kolam air deras di Cisaat.
6. Stasiun keramba jaring apung di Waduk Cirata.
7. Stasiun panti benih udang galah di Pelabuhan Ratu.
8. 3 buah ruang rapat dengan kapasitas 180 orang.
9. Auditorium dengan kapasitas 600 orang.
10. Wisma tamu 24 kamar dengan kapasitas 84 orang.
11. Perpustakaan.
12. Masjid dengan kapasitas 150 orang.
13. Lapangan olahraga.
14. Hotspot internet.
Tabel 1. Jumlah Pegawai BBPBAT Tahun 2011 Menurut Status Kepegawaian
Status
|
Golongan / Ruang
|
Jumlah
| |||
IV
|
III
|
II
|
I
| ||
PNS
CPNS
HONORER
|
6
-
-
|
84
1
4
|
32
-
12
|
3
1
1
|
130
1
17
|
Jumlah
|
6
|
89
|
44
|
4
|
148
|
Sumber : BBPBAT Sukabumi, 2011
Tabel 2. Kondisi Pegawai BBPBAT Tahun 2011 Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Profesi.
Profesi
|
Pendidikan
|
Jumlah
| |||||
S2
|
S1
|
D3
|
SMA
|
SMP
|
SD
| ||
STRUKTURAL
| |||||||
- Kepala Balai
- Subag TU
- Pelayanan Teknik
- Standarisasi & Informasi
|
-
1
-
-
|
1
2
2
3
|
-
3
1
2
|
-
23
13
3
|
-
3
-
-
|
-
-
-
-
|
1
32
16
8
|
FUNGSIONAL
| |||||||
- Perekayasa
- Pengawas Benih
- Pengawas Budidaya
- PHPI
|
12
-
-
-
|
11
5
4
14
|
-
1
-
1
|
-
4
-
5
|
-
-
-
-
|
-
-
-
-
|
23
10
4
20
|
- Analisis Kepegawaian
- Pustakawan
|
-
-
|
-
-
|
-
-
|
1
1
|
-
-
|
-
-
|
1
1
|
Honorer
|
-
|
2
|
21
|
12
|
1
|
21
| |
JUMLAH
|
13
|
50
|
9
|
38
|
4
|
148
|
Sumber : BBPBAT Sukabumi, 2011
4.2. Teknik Pembenihan Ikan Patin Siam
4.2.1. Seleksi Induk
Setelah bak pemijahan dipersiapkan, induk yang akan dipijahkan diseleksi terlebih dahulu. Tujuan dari penyeleksian ini adalah untuk mendapatkan induk yang berkualitas agar induk tersebut dapat menghasilkan individu yang berkualitas pula, karena keberhasilan suatu proses pemijahan juga dipengaruhi oleh kualitas induk.
Kematangan gonad induk sangat menentukan keberhasilan pemijahan karena induk yang telah matang gonad akan menghasilkan kualitas telur yang baik. Seleksi induk dilakukan sebelum induk dipijahkan. Tanda-tanda induk ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang telah matang gonad dapat dilihat melalui marfologi tubuh. Induk. Ada beberapa ciri-ciri yang dapat diperhatikan, untuk induk jantan yang matang gonad badannya tampak ramping, gerakannya lincah, kulit perut lembek dan tipis, jika diurut bagian perutnya dari depan kearah sirip anus maka akan mengeluarkan cairan putih (sperma), alat kelamin membengkak dan berwarna merah tua. Sedangkan untuk induk betina yang matang gonad dapat dilihat dari bagian perutnya yang membesar kearah anus,perut apabila diraba terasa empuk dan halus, kloaka membengkak dan berwarna merah tua, kulit pada bagian perut lembek dan tipis, jika perut diurut akan mengeluarkan telur berbentuk bundar dan besarnya seragam. Syarat utama calon induk menurut Susanto (2002) adalah matang gonad, artinya induk jantan sudah menghasilkan sperma dan induk betina menghasilkan telur. Untuk merangsang proses ovulasi pada induk betina. Induk-induk yang telah matang gonad dan ditimbang berat bobot tubuhnya. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui berapa dosis hormon yang dibutuhkan.
Dalam penyeleksian yang dilakukan di BBPBAT Sukabumi, induk jantan yang diseleksi didapat 7 ekor yang berumur lebih dari 2,5 tahun, sedangkan untuk betina penyeleksian dilakukan dengan cara melihat induk-induk yang telah membesar perutnya yang telah berumur lebih dari 4 tahun. Adapun induk jantan dan betina yang lolos seleksi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Seleksi Induk- Induk Ikan Patin Pada Bak I yang Telah Matang Gonad
No
|
Induk
|
Jumlah
|
Berat (kg)
|
1.
|
Betina
|
Patin siam (4 ekor)
|
1,8 – 2,5 kg
|
2.
|
Jantan
|
Patin siam (7 ekor)
|
1,5 – 2,2 kg
|
Dari Tabel 3 terlihat induk betina yang digunakan mempunyai berat 1,8 – 2,5 kg dan induk jantan mempunyai berat 1,5 – 2,2 kg.
4.3. Pemijahan
Sebelum induk dipijahkan, induk patin dipuasakan atau diberok terlebih dahulu selama 1 – 2 hari, untuk mengurangi kadar lemak pada saluran pengeluaran telur dan membuang kotoran atau faces.
4.3.1. Penyuntikan Hormon
Pada penyuntikan induk patin digunakan dua jenis hormon, yaitu hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin) dan ovaprim. Hormon hCG berfungsi untuk menyempurnakan matang gonad induk betina dan ovaprim berfungsi untuk memacu ovulasi dan produksi sperma. Penyuntikan pertama dengan hormon hCG sebanyak 500 IU/kg bobot induk dan penyuntikan kedua dengan hormon ovaprim sebanyak 0,6 ml/kg dari bobot induk.
Induk yang akan disuntik pada bagian kepalanya dibalut dengan menggunakan kain basah. Penyuntikan dilakukan pada bagian intramuscular di daerah punggung. Untuk induk betina diberi suntikan sebanyak dua kali, selang waktu dari penyuntikan kedua sampai ovulasi antara 10 - 12 jam pada kondisi suhu air 25 – 27 °C. Waktu laten yakni jarak antara penyuntikan kedua sampai ovulasi sangat dipengaruhi suhu air. Waktu laten ikan patin siam tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Waktu Laten Ikan Patin Siam
Temperatur Air (°C)
|
Waktu Laten (jam) Patin Siam
|
25-27
|
10.30
|
25-27
|
11.20
|
25-27
|
10.55
|
25-27
|
11.35
|
Sumber : BBPBAT Sukabumi
Sebelum dilakukan penyuntikan induk betina, tertebih dahulu ditimbang untuk mengetahui jumlah hormon hCG maupun ovaprim yang diperlukan. Menurut Sunarma (2004) hormon hCG menggunakan dosis 500 IU/kg, sedangkan untuk ovaprim menggunakan dosis 0,6 ml/kg untuk induk betina dan 0,2 ml/kg untuk induk jantan sudah cukup untuk membantu proses kematangan gonad. Hormon ovaprim bertujuan untuk mempercepat terjadinya ovulasi dan produksi sperma. Penghitungan dosis Ovaprim dan hCG dapat dilihat pada Lampiran 4.
Penyuntikan dilakukan secara intra muscular atau pada bagian otot sirip punggung pada induk betina maupun jantan, Setelah penyuntikan selesai induk betina dikembalikan kedalam bak penampungan dan kemudaian dilakukan penyuntikan selanjutnya bersamaan dengan induk jantan. Dosis penyuntikan induk ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Dosis Penyuntikan Induk Ikan Patin Siam
Bobot Induk Betina Patin Siam (kg)
|
Dosis HCG
( ml/kg)
|
Dosis Ovaprim
(0,6 ml/kg)
|
3,5
|
5.25 ml
|
2.1 ml
|
3,2
|
4.8 ml
|
1.92 ml
|
2,8
|
4.2 ml
|
1.68 ml
|
3.2
|
4.8 ml
|
1.92 ml
|
Sumber : Data Hasil Pengamatan
Dari Tabel 5 dapat diketahui bagaimana cara menghitung dosis hCG dan ovaprim yang dibutuhkan oleh induk yaitu dapat dilakukan dengan cara menimbang induk terlebih dahulu kemudian menggunakan hormon hCG yang diperlukan dengan dosis 500 UI/kg dan ovaprim dengan dosis 0,6 ml/kg.
4.3.2. Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan oleh induk yang akan dikeluarkan pada saat pemijahan. Cara perhitungan fekunditas dilakukan dengan menimbang berat telur sesudah di stripping. Mengambil sampel telur, kemudian telur ditimbang dan dihitung.
Penghitungan telur dilakukan dengan metode sampel. Pada penghitungan telur ini penulis melakukan penghitungan telur dengan cara mengambil sample sebanyak 1 gram dan kemudian dilakukan penghitungan (1190 telur), diameter telur berkisar antara 0,9202 – 1,0064 mm, Hal ini dilakukan untuk mempermudah derajat penghitungan telur. Subandiyah et al (1990) menyatakan bahwa semakin berat dan besar ukuran induk maka akan berpengaruh pada telur atau perkembangan gonad yang dihasilkan. Penghitungan jumlah telur dapat dilihat pada Lampiran 3.
Hasil fekunditas yang didapatkan selama praktek magang di BBPBAT Sukabumi adalah terlihat pada Tabel 6. Dari data hasil fekunditas pada Tabel 6 diketahui bahwa fekunditas telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang ada di BBPBAT Sukabumi induk pertama menghasilkan telur sebanyak 630.000, induk kedua 576.000 butir, induk ketiga 420.000 butir dan induk keempat 576.000, jumlah ini termasuk baik karena menurut Sunarma (2004) ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang baik mampu menghasilkan telur sebanyak 150.000 sampai 200.000 butir/kg induk. Induk-induk ini sewaktu masih dalam proses pemeliharaan diberikan pakan 5 % dari biomass dengan kandungan protein sebesar 28%. Sumber protein yang cukup akan sangat membantu proses pembesaran dan kematangan gonad ikan Patin Siam (Sunarma, 2004)
Jumlah fekunditas telur dipengaruhi oleh kualitas induk yang baik yaitu induk yang sehat, kebutuhan pakan terpenuhi baik dalam jumlah dan kandungan protein yang sangat dibutuhkan oleh induk.
Tabel 6. Data Hasil Penghitungan Fekunditas Induk Ikan Patin Siam
Induk
|
Fekunditas (butir)
|
I
|
631.440
|
II
|
588.360
|
III
|
510.720
|
IV
|
576.000
|
4.3.3. Pembuahan Telur
Proses pembuahan telur sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kualitas induk yang mampu menghasilkan telur dan sperma yang bagus.
Tujuan dari pembuahan adalah untuk menghasilkan larva dari telur yang sudah dikeluarkan. Ciri-ciri telur yang terbuahi akan berwarna putih bening sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih susu.
Derajat pembuahan (FR) ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) mencapai rata-rata 79.5 %. Pada induk pertama mencapai 79 %, induk kedua 79 %, induk ketiga 80 % dan induk ke empat 80 %. Derajat pembuahan telur akan tinggi bila kualitas telur yang dihasilkan oleh induk itu baik karena induk tersebut sudah matang gonad. Data hasil derajat pembuahan telur ikan Patin Siam selama pengamatan di BBPBAT Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 7. Dan cara penghitungan dapat dilihat pada lampiran 3.
Tabel 7. Data Hasil Derajat Pembuahan Telur Ikan Patin Siam
Hapa
|
Fekunditas
(butir)
|
Telur yang terbuahi
(butir)
|
FR
(%)
|
I
|
631.440
|
498.838
|
79
|
II
|
588.360
|
464.804
|
79
|
III
|
510.720
|
408.576
|
80
|
IV
|
576.000
|
460.800
|
80
|
4.4. Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan dengan menggunakan sistem air mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan pergantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi, dan peningkatan oksigen terlarut dilakukan dengan pemberian aerasi. Derajat penetasan telur sangat dipengaruhi oleh lingkungan, kualitas telur dan sperma dari induk itu sendiri (Sunarma, 2004). Pada suhu normal antara 25 - 30 oC telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) dapat menetas dalam waktu 30 - 35 jam, namun karena suhu di BBPBAT Sukabumi 25-27 oC termasuk dingin maka lama penetesan telur bisa mencapai 35-40 jam.
Hasil yang didapat pada induk pertama sampai dengan keempat berada diatas angka 70%, angka ini termasuk baik karena derajat hasil penetasan telur ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang baik melebihi angka 70% (Sunarma, 2004). Derajat pembuahan telur yang tinggi dapat dicapai karena kualitas induk yang baik dan suhu penetasan telur yang optimal. Untuk lebih lengkapnya data derajat hasil penghitungan telur ikan Patin Siam dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data Derajat Hasil Penetasan Telur Ikan Patin
Hapa
|
Telur yang terbuahi
(butir)
|
Telur yang menetas
|
HR
(%)
|
I
|
498.838
|
399.070
|
80
|
II
|
464.804
|
357.899
|
77
|
III
|
408.576
|
277.832
|
68
|
IV
|
460.800
|
364.032
|
79
|
Dari data Tabel 8 dapat dilihat HR atau derajat penetasan telur pada ikan patin siam yaitu rata-rata penetasan ikan patin mencapai 76 %. Derajat penetasan ikan patin hanya mencapai rata-rata 76% dikarenakan temperatur suhu yang tidak stabil dikarenakan pemijahan dilakukan pada musim hujan.
4.5. Pemeliharaan Larva
4.5.1. Pengelolaan Kualitas Air
Data kualitas air untuk larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang didapatkan selama pengamatan terdapat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Pemeliharaan Larva Patin Siam
Minggu Ke-
|
Suhu
(oC)
|
pH
|
DO
(ppm)
|
NH3
(ppm)
|
I
|
28,2
|
7,15
|
4,30
|
0,39
|
II
|
27,8
|
7,35
|
4,43
|
0,66
|
Berdasarkan dari data pada Tabel 9 maka kualitas air untuk bak pemeliharaan larva termasuk baik. Hal ini karena pada bak pemeliharaan larva memiliki suhu yang berkisar antara 27,8 - 28,2 oC. Sedangkan suhu optimal untuk larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) adalah berkisar antara 25 - 33o C (Sunarma, 2004).
Hasil dari pengukuran pH pada bak pemeliharaan larva ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus ) adalah 7,15 - 7,35. Kisaran pH yang terdapat pada bak pemeliharaan larva termasuk baik karena pH yang dibutuhkan untuk budidaya ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus ) yaitu berkisar antara 6 - 9 (Sunarma, 2004).
Hasil dari pengukuran DO (oksigen terlarut) dari bak pemeliharaan larva adalah 4,30 - 4,43 mg/liter. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang terdapat dalam bak pemeliharaan larva sudah baik karena oksigen terlarut yang baik untuk Patin Siam (Pangasius hypopthalamus ) yaitu lebih dari 3 ppm/liter (Sunarma, 2004).
Pada Tabel pengamatan didapati hasil pengukuran ammonia berkisar 0,39 - 0,66 ppm. Toksisitas ammonia terhadap organisme budidaya dapat meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu.
4.5.2. Pakan
Pada pemeliharaan larva unur 1 hari tidak diberi pakan karena pada umur tersebut larva masih mempunyai cadangan makanan berupa kuning telur. Dan pada saat itu pula organ pencernaannya masih belum terbentuk secara sempurna. Setelah larva berumur 2 hari larva ikan patin diberikan pakan alami berupa artemia. Naupli artemia merupakan jenis pakan alami yang paling tepat untuk diberikan pada larva, karena naupli artemia berenang lambat sehingga mudah ditangkap. Pada saat pemberian pakan alami naupli artemia aerasi dimatikan terlebih dahulu agar larva dapat dengan mudah menangkap nauli artemia sp dengan frekuensi pemberian 5 kali/hari yaitu jam 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00 WIB secara adlibitum. Umur 3 - 7 hari larva diberi cacing tubifex sp yang telah dihaluskan dengan cara dicincang terlebih dahulu karena bukaan mulut larva masih kecil dan ditambahkan vitamin C . Setelah berumur 8 hari larva sudah biasa makan cacing tubifex utuh/hidup, karena bukaan mulutnya yang sudah membesar dan pencernaannya sudah terbentuk. Larva ikan patin akan cepat mengalami pertumbuhan apabila diberi pakan alami berupa cacing tubifex sp. Karena cacing tubifex sp merupakan pakan yang memiliki protein yang cukup tinggi bagi perkembangan larva ikan, hal ini sesuai dengan nilai gizi cacing sutra. Kadar protein yang terkandung dalam cacing ini sebesar 55% sampai 61% dari bobot kering, lemak antara 16% sampai 27% dan karbohidrat 7% sampai 12% dari bobot kering (Nurhasanah, 1997). Agar kualitas air tetap baik dilakukan penyimponan kotoran setiap hari sebelum dilakukan makanan pertama pada pagi hari.
4.5.3 Hama dan Penyakit
Selama pemeliharaan tidak ditemukan hama dan penyakit pada larva ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus), hanya saja di lakukan pencegahannya yaitu dengan memberikan vitamin C pada pakan alami berupa turbifex yang telah dicincang
4.5.4 Pemanenan
Pemanenan dilakukan pada saat larva berumur 14 hari, kegiatan ini dilangsungkan pada pagi hari. Larva ikan yang berada didalam bak fiber diambil dengan menggunakan scopnet kemudian dimasukkan kedalam plastik sebelum dipindah kan kedalam kolam pendederanl atau dijual langsung kepada para pembeli. Data panjang maupun berat larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) selama pemeliharaan di BBPBAT Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Data Panjang dan Berat Rata-rata Benih Ikan Patin Siam
Sampling
|
Hari ke
|
Panjang rata-rata (cm)
|
Berat rata-rata (g)
|
1
|
10
|
1,1
|
0,51
|
2
|
10
|
1,2
|
0,40
|
3
|
10
|
1,1 8
|
0,50
|
4
|
10
|
0,95
|
0,57
|
5
|
10
|
1,1 5
|
0,55
|
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat pertambahan panjang dan berat rata-rata benih ikan patin. Pada hari kesepuluh panjang rata-rata benih patin siam sebesar 1,12 dan beratnya sebesar 0,51 gram gambar dilihat pada lampiran 6.
Untuk mendapatkan derajat kelangsungan hidup larva yang tinggi, kita harus menyediakan sumber makanan yang mencukupi dan pengeloalaan kualitas air yang baik agar kelangsungan hidup larva dapat terjaga. Tingkat kelangsungan hidup larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) yang baik adalah diatas angka 70 % (Sunarma, 2004). Berdasarkan data Tabel 11, kelangsungan hidup (SR) larva Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) termasuk baik karena dari induk pertama sampai keempat melebihi angka 70%.
Tabel 11. Kelangsungan Hidup (Survival Rate) Larva Patin Siam Selama 14 Hari Pemeliharaan
Hapa
|
Jumlah Padat Tebar Awal
|
Jumlah Larva Akhir
|
SR
(%)
|
I
|
399.070
|
333.060
|
83
|
II
|
357.899
|
301.340
|
84
|
III
|
277.832
|
190320
|
69
|
IV
|
364.032
|
317200
|
87
|
Dari Tabel 11 didapat hasil SR 69 % – 87 % dikarenakan banyaknya jumlah padat tebar dalam satu wadah sehingga ikan cendrung bersifat kanibalisme
4.6 Isu Permasalahan
4.6.1 Isu permasalahan umum
Permasalahan Umum yang terdapat di BBPBAT sukabumi yaitu pintu hatchery ada yang rusak, sehingga suhu pada hatchery tidak stabil, untuk mendapatkan data yang diinginkan agak sulit, mahalnya harga Hormone hCG menjadi kendala dalam melakukan pemijahan induk patin, bak pemeliharaan masih kurang.
4.6.2 Isu Permasalahan Khusus
Permasalahan Khusus yang terdapat di BBPBAT Sukabumi yaitu sulitnya mendapatkan induk yang matang gonad sehingga untuk melakukan pemijahan tidak kontiniu atau berkelanjutan tergantung kepada tersedianya induk yang matang gonad, Derajat penetasan yang lambat dikarenakan suhu yang dingin, kepadatan yang tinggi dalam bak pemeliharaan larva sehingga larva cendrung bersifat kanibalisme.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Teknik pembenihan ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) meliputi seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva, manajemen pemberian pakan, pengelolaan kualitas air dan panen.
2. Derajat pembuahan larva (FR), derajat penetasan telur (HR), dan tingkat kelulushidupan larva (SR) Patin Siam (Pangasius hypopthalamus) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi masih tergolong baik.
3. Kualitas air bak pemeliharaan larva yang diukur adalah : Suhu 27,8 - 28,2 oC, pH 7,15-7,35 ,Oksigen terlarut 4,30 - 4,43 ppm, NH3 0,33 – 0,66 ppm.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan yaitu : Hatcheri patin II memerlukan perbaikan pada jendelanya karena kusen jendela sudah lapuk dan berlubang sehingga udara dapat masuk kedalam hatchery yang menyebabkan suhu di hatchery tidak konstan.
Ketelitian sumberdaya manusia perlu ditingkatkan dalam persiapan peralatan yang akan digunakan dlam kegiatan pembenihan agar hasil yang didapatkan akan semakin maksimal.
VI. ANALISIS USAHA
Prospek Usaha
Asumsi
- Berat induk yang digunakan 3 kg/ekor, Setiap siklus pemijahan 4 ekor induk. Sehingga berat induk total 12 kg/siklus
- Setiap induk menghasilkan telur 400 gram, jadi total 1600 gram telur
- Setiap gram telur terdiri dari 1200 butir telur. Sehingga telur yang dihasilkan adalah : 1200 X 1600 gram = 1.920.000 butir telur hasil stripping
- Derajat penetasan telur 80%. Sehingga telur yang menetas adalah : 1.920.000 X 60 % = 1.536.000 ekor larva yang menetas.
- Tingkat kelangsungan hidup rata-rata 50%, maka : 1.536.000 X 50% = 921.600 ekor benih ukuran 1 inch.
- Satu siklus selama 1 bulan, Produksi dilakukan selama 1 bulan, produksi dilakukan setiap bulan.
Analisis Usaha
a. Investasi
1. Gedung Pemeliharaan (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp 300.000.000
2. Pembuatan kolam induk (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp. 5.000.000
3. Bak fiber pemeliharaan ( usia ekonomis 10 tahun ) Rp. 10.000.000
4. Pompa (Usia ekonomis 5 tahun) Rp. 2.000.000
5. Bak penetasan (Usia ekonomis 10 tahun ) Rp. 5.000.000
6. Peralatan perlengkapan (Usia ekonomis 2 tahun) Rp. 1.000.000
7. High Blow (Usia ekonomis 4 tahun) Rp. 3.000.000
8. Induk (Usia ekonomis 1 tahun ) Rp. 500.000
9. Heater 10 buah (Usia ekonomis 1 tahun ) Rp. 500.000
Jumlah Rp. 327.000.000
b. Biaya Tetap
1. Penyusuta gedung Rp. 2.500.000
2. Penyusutan kolam Rp. 41.700
3. Penyusutan fiber Rp. 84.000
4. Penyutan pompa Rp. 34.000
5. Penyusutan bak penetasan Rp. 84.000
6. Penyusutan perlengkapan Rp. 41.700
7. Penyusutan high blow Rp. 25.000
8. Penyusutan induk Rp. 50.000
9. Penyusutan Heater Rp. 41.700
Jumlah Rp. 2.902.100
c. Biaya tidak tetap
1. Pakan induk Rp. 1.000.000
2. Artemia 8 kaleng Rp. 2.500.000
3. Cacing Rp. 500.000
4. HCG Rp. 1.200.000
5. Ovaprim Rp. 1.000.000
6. Larutan fisiologis Rp. 20.000
7. Obat - obatan Rp. 100.000
8. Pengisian Oksigen Rp. 100.000
9. Listrik Rp. 200.000
10. Telepon Rp. 100.000
Jumlah Rp. 6.720.000
d. Baya produksi
= Biaya tidak tetap + Biaya tetap
= Rp. 6.720.000 + Rp. 2.902.100.
= Rp. 9.622.100
e. Hasil Usaha
= Penjualan Benih Patin ukuran 1 inch = 921.600 ekor X Rp. 100
= Rp. 92.160.000
f. Keuntungan
= Hasil Usaha – Biaya Produksi
= Rp. 92.160.000 – Rp. . 9.622.100
= Rp. 82.537.900
g. Jangka waktu pengembalian modal
={(Investasi + Biaya produksi ) : keuntungan } X lamanya siklus
= {(Rp. 327.000.000 + Rp. 9.622.100) : Rp. . 82.537.900} X 1 bulan
= 4 bulan
Artinya Modal akan kembali setelah 4 bulan
h.Benefit Cost Ratio
= Hasil usaha : Biaya Produksi
= Rp. 92.160.000: Rp. 9.622.100
=9.58
Artinya hasil usaha yang diterima setelah satu siklus pemeliharaan adalah 9.58 kali dari biaya produksi yang telah dikeluarkan.
h. Break event point
= Biaya tetap : (1-Biaya tidak tetap : Hasil usaha )
= Rp. 2.902.100.: ( 1- Rp . 6.720.000: Rp. 92.160.000)
= Rp. 3.120.537
Artinya, Usaha ikan patin ini tidak rugi dan tidak untung (impas) saat dihasilkan pendapatan sebesar Rp. 3.120.537 dari penjualan tiap siklus.
DAFTAR PUSTAKA
Agribisnis & Aquacultures. 2008. Prospek Usaha Ikan Patin Menjanjikan. http://citrakaryanusantara.blogspot.com/. (Akses 10 November 2009).
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar. Penerbit Kansius. Yogyakarta.
Daelami, D.A.S. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Air Tawar. Penebar Swadaya (Anggota IKAPI). Jakarta. 166 hal.
Djariah, A.S. 2001. Budi Daya Ikan Patin. Kanisius. Yogyakarta. 87 hal.
Efendi. 1997. Metode Penelitian Survey. Jakarta : PT. Pustaka LP3S Indonesia
Effendi, H., 2003 Telah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Peraiaran. Kanasius. Yogyakarta. 257 hal.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Rieka Cipta, Jakarta. 179 hal.
Hardjamulia, A.R. Djajadireja, S. Atmawinata dan D. Idris. 1985. Pembenihan Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) dengan Suntikan Ekstrak Hipofisa Ikan Mas (Cyprinus carpio). Buletin Penelitian Perikanan I. (2) : 183 - 190
Heckling, C.F. 1971. Fish Cultur Feber and Faber. London 317 P.
Heru. 2006. Budidaya Ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta
Khairuman. 2007. Budidaya Patin Super. Agro Media. Jakarta.
Melianawati, R. dan K. Suwirya. 2005. Pengaruh Dosis Pakan Terhadap Pertumbuhan Juvenil Kakap Merah (L. argentimaculatus). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. 135-142 p.
Miswanto. 2002. Pembenihan Ikan Mas (Cyprinus Carpo L). Laporan Magang Fakultas Perikanan UNRI. 59 hal (tidak diterbitkan).
Mudjiman, A. 2001. Makanan Ikan. cetakan ke-15. Jakarta: PT Penebar Swadaya. 190 hal.
Nurhasanah.1997.Petunjuk teknis pembenihan ikan patin indonesia Pangasius djambal. IRD dan Pusat Riset Perikanan Budidaya Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Karya Pratama. Jakarta.
Rustidja. 2004. Pembenihan Ikan-Ikan Tropis, Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Sarwisman. 2002. Pembenihan Ikan Jambal Siam. Laporan Magang Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNRI. 52 hal (tidak diterbitkan).
Slembrouck, Stef . 2003. Explanation, Interperation and Critique in the Analysis Of Discourse. Critique of Anthropology, 21:33-57
Subandiyah, Yogyakarta: Faculty of Agriculture GMU, 1990 8 hal.
Sumandinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Peliharaan di Indondesia. PT. Sastra Hudaya. Bogor.
Sunarma, A. 2004. Teknik Pembenihan Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalamus). BBPBAT. Sukabumi.
Susanto, H. dan Khairul Amri. 2002. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya. Jakarta.90 hal
. 2001. Budidaya Ikan Patin, Jakarta: Penebar Swadaya
Sutisna P.H. dan Sutarmanto. 2003. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Pemeliharaan di Indonesia.
Umri, 2005. Pendederan Benih Ikan Jambal Siam (Pangasius pangasius) Dengan Sistem Resirkulasi Filter Sphon. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menjual benih patin